DE

International Academy for Leadership
12 Hari Membangun "Open Borders"

IAF Seminar “Freedom of Movement: A Liberal Principle Challenged” , Gummersbach, 5-17 Maret 2017
Diskusi kelompok dalam seminar
Diskusi kelompok dalam seminar © FNF Indonesia

Cerita perjuangan hidup manusia telah ditorehkan banyak kisah. Tapi berjuang untuk kehidupan yang lebih baik melalui rintangan lintas batas negara adalah kisah tersulit. Kesimpulan ini saya dapatkan ketika saya diberikan kesempatan untuk mengikuti workshop selama 12 hari dengan topik “Freedom of Movement: A Liberal Principle Challenged” yang diadakan di Gummersbach, Jerman, pada tanggal 5-17 Maret 2017. Workshop ini dihadiri oleh politisi, jurnalis, peneliti, dan aktivis NGO dari 23 negara di Timur Tengah, Afrika, Asia, dan Eropa.

Workshop ini bertujuan untuk mengangkat topik migrasi antar negara yang kini menjadi isu penting di dunia, terutama ketika jutaan pengungsi (refugee) Suriah membanjiri Eropa untuk mencari suaka (asylum seeker) akibat perang saudara berkepanjangan.

Lebih pentingnya lagi, sudah banyak bermunculan kelompok-kelompok yang keras menyuarakan penolakan atas kedatangan pendatang dari luar negaranya. Imigran dianggap potensi pelbagai permasalahan sosial. Mereka juga seringkali digambarkan sebagai sekumpulan orang yang akan mengancam ketenangan warga lokal, karena perbedaan budaya dan agama yang mereka bawa dari tempat asal mereka.

Dari sudut pandang ekonomi, imigran juga dipercaya akan menggerus kesempatan kerja warga lokal dan membebani sistem jaminan sosial. Argumen-argumen seperti ini menambah sulitnya proses migrasi antar negara, termasuk proses integrasi dan asimilasi antara warga pendatang dengan warga lokal. Dalam workshop ini, kita ingin membuktikan beberapa klaim tersebut sesuai konteks negara peserta masing-masing, termasuk menyusun instrumen yang kuat demi merumuskan kebijakan migrasi yang lebih bebas (open borders).

Peradaban umat manusia sudah dibentuk oleh proses migrasi sejak ribuan tahun yang lalu, menghindari bencana alam, mendapatkan tanah yang lebih subur, dan mencari penghidupan yang lebih baik. Migrasi dari satu tempat ke tempat lainnya telah menjadi naluri manusia sejak dahulu kala.

Walaupun begitu, sejak hadirnya sistem negara bangsa di abad 20, batas lintas negara semakin menyulitkan migrasi dari satu negara ke negara lainnya (paspor baru diberlakukan pada 1920 oleh Liga Bangsa-Bangsa). Aturan yang ketat dalam lintas batas negara membuat menguatnya pembedaan identitas antara warga lokal dan pendatang. Warga lokal yang merasa kalah berkompetisi dalam mendapatkan pekerjaan seringkali menyalahkan pendatang yang “mencuri” pekerjaan mereka. Argumen ini kemudian diprovokasi oleh kepentingan politik untuk membatasi atau bahkan melarang masuknya imigran. Banyak negara mengalami persoalan pelik seperti ini, tidak hanya di Eropa atau Amerika, tetapi juga Afrika Selatan yang menjadi pusat imigran dari negara-negara di Afrika.

 Kenyataannya, negara-negara yang menerima banyak imigran cenderung memiliki ekonomi yang maju karena beberapa hal. Pertama, dari sisi ekonomi, imigran memperkuat lapisan tenaga kerja yang mampu mendukung terciptanya pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan. Tenaga kerja imigran umumnya berusia muda, cenderung lebih mampu bekerja keras mengingat risiko yang mereka miiki apabila mereka tidak bekerja dengan baik.

Do imigrants "steal" the jobs?
Do imigrants "steal" the jobs? © FNF Indonesia

Lalu bagaimana dengan argumen bahwa imigran mengambil kesempatan kerja warga lokal? Tentu saja, dalam kompetisi ada pihak-pihak yang tersisihkan. Tetapi secara umum di negara-negara yang menjadi tujuan, imigran cenderung melengkapi struktur tenaga kerja. Struktur tenaga kerja di banyak negara biasanya besar di bagian menengah namun kecil di bagian tenaga kerja lapisan bawah-atas. Imigran melengkapi pekerjaan-pekerjaan kasar berpenghasilan rendah yang tidak ingin diakses oleh warga lokal, serta mengambil pekerjaan-pekerjaan ahli di bidang tertentu yang tidak banyak bisa diakses oleh warga lokal.

Kedua, fakta membuktikan bahwa negara-negara penerima imigran memiliki budaya yang lebih kaya. Datangnya imigran dari berbagai negara bukan merusak, justru memperkaya kebudayaan itu sendiri. Keberagaman yang dibawa oleh imigran memperkaya budaya di negara tersebut. Pusat-pusat kebudayaan di dunia moderen dibentuk oleh keberagaman yang dibawa oleh imigran.

Workshop ini juga menganalisis cara paling efektif untuk mengatasi krisis pengungsi yang terjadi di negara-negara perbatasan Suriah dan negara-negara Eropa. Dalam kunjungan lapangan yang kami lakukan, kami berbicara dengan dewan kota Cologne untuk mengetahui bagaimana program integrasi pengungsi Suriah di Jerman. Kami juga mengunjungi kamp pengungsi di kota Hamburg untuk bertemu dengan pengungsi dan mengetahui langsung kehidupan baru mereka di Jerman. Kami mengunjungi “German Emigration Center” di Bremerhaven, museum migrasi yang mencatat 7 juta orang yang bermigrasi dari Eropa ke negara-negara di seluruh dunia untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Di Indonesia, isu migrasi masih sangat terbatas pada isu perlindungan warga negara kita (TKI) di luar negeri. Tanpa bermaksud mengabaikan nasib pengungsi Rohingya, isu pengungsi dan pencari suaka juga tidak begitu signifikan dalam perdebatan publik di Indonesia. Tidak seperti banyak negara di dunia, net migrasi kita juga berada dalam angka minus, yang artinya, jauh lebih banyak orang yang pergi dari Indonesia (menjadi emigran) dibandingkan orang yang datang (menjadi imigran) ke Indonesia. Kita masih begitu restriktif, bahkan untuk menerima tenaga kerja asing berketerampilan tinggi (high-skilled workers) yang justru sangat diinginkan oleh negara lain.

Sejatinya, Indonesia sudah harus memikirkan kebijakan imigrasi yang berorientasi pada keterbukaan, karena tidak hanya bisa memperkaya ekonomi Indonesia tapi juga akan memperkuat keberagaman sosial dan budaya kita.

Melihat "fact sheet" tentang imigrasi dari berbagai negara
Melihat "fact sheet" tentang imigrasi dari berbagai negara © FNF Indonesia

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Rofi Uddarojat, yang bekerja sebagai Researcher di Center for Indonesian Policy Studies, Jakarta.