DE

International Academy for Leadership
Ekonomi Biru dan Berbagai Aspek Kehidupan

IAF Seminar "What does a blue economy change?", Gummersbach, 11-21 Oktober 2016
Peserta Seminar "What Does a Blue Economy Change?"

Peserta Seminar "What Does a Blue Economy Change?"

Ketika green economy (ekonomi hijau) gagal mewujudkan pembangunan berkelanjutan, maka blue economy (ekonomi biru) diharapkan mampu mewujudkannya. Dalam kondisi stok sumberdaya alam yang terbatas dan tingkat kebutuhan manusia yang cenderung meningkat menjadi alasan kuat bagi kita untuk memanfaatkan sumberdaya alam dengan secara bijaksana, agar sumber daya alam tersebut tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Pada tanggal 11-21 Oktober tahun 2016, untuk pertama kalinya, FNS menyelenggarakan seminar dengan tema  what does a “blue economy” change? Sebuah paradigma baru sekaligus harapan baru dalam pembangunan berkelanjutan. Konsep ini pertama kali dideklarasikan ketika konfrensi pembangunan berkelanjutan PBB Rio+20 di Rio de Janaeiro, Brazil tahun 2012. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, ekonomi biru bertujuan agar dalam eksploitasi sumberdaya alam yang terbatas ini menjadi lebih efektif dan efisien. Termasuk mengolah sumberdaya alam tanpa menyisakan limbah. Adapun limbah yang dihasilkan dari setiap proses produksi akan dimanfaatkan sebagai bahan baku produk turunan berikutnya.

Kegiatan seminar yang dilaksanakan di Theodor Heuis Gumersbach ini, diikuti oleh 23 orang peserta yang berasal dari 21 negara di dunia. Peserta yang hadir berasal dari beragam latar belakang profesi, beragam usia, sehingga menimbulkan beragam pemikiran. Cara memandang konsep ekonomi biru dari setiap negara juga berbeda-beda, tergantung dari karakteristik dan budaya dari masing-masing negara. Meskipun penerapan konsep ekonomi biru di setiap negara berbeda-beda, namun logika ekonomi biru dapat di terima oleh setiap orang dimana saja. Begitu juga dengan tingkat keberhasilannya juga tidak mungkin sama. Faktor sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang melaksanakan konsep ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan konsep ini. Termasuk dukungan teknologi dari suatu negara menjadi sangat penting, terutama dalam menciptakan produk turunan dari suatu sumberdaya alam.

Konsep ekonomi biru sudah mulai diterapkan di bebera negara di negara maju seperti Jerman. Jerman menerapkan konsep ekonomi biru dalam berbagai aspek kehidupan seperti penataan kota-kota di Jerman seperti penataan Kota Hamburg Jerman. Dengan luasan lahan yang terbatas dan jumlah permintaan akan bangunan terus meningkat, pemerintah kota Hamburg berhasil membangun kota yang aman, nyaman dan indah tanpa merusak lingkungan dan tanpa menghilangkan hak-hak publik.

Selain itu, dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam, salah satu perusahaan pertambangan yang sudah mulai menerapkan konsep ekonomi biru di Jerman adalah Aurubis AG. Aurubis merupakan produsen tembaga dan pendaur ulang tembaga terbesar di dunia. Bahan baku yang digunakan tidak hanya dari konsentrat tembaga, tetapi bahan baku yang diolah adalah dari bahan daur ulang. Dengan demikian, limbah tidak lagi menjadi beban bagi lingkungan, tetapi limbah dapat dijadikan bahan baku produksi yang dapat menghasilkan benefit yang besar.

Kemudian dalam sektor kelautan, Jerman telah menerapkan model ekonomi biru dalam pengelolaan sumberdaya laut nya, misalnya dengan menerapkan model Maximum Sustainable Yield (MSY), dimana jumlah ikan yang boleh ditangkap ditentukan dengan sistem quota. Jumlah kuota ditetapkan berdasarkan jumlah stok ikan yang tersedia. Hal ini dimaksudkan agar jumlah penangkapan tidak melebihi dari stok ikan yang tersedia.  Model ini disebut dengan nama bionomi (biologi ekonomi) yaitu menggabungkan aspek ekologi dengan aspek ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya alam laut. Nelayan yang melakukan penangkapan dalam suatu kawasan harus memiliki quota jumlah penangkapan untuk masing-masing spesies ikan. Jika tidak, maka akan dapat menimbulkan moral hazard dari para nelayan. Dalam prinsip ekonomi, nelayan dapat melakukan eksploitasi yang sebesar-besarnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang setinggi-tingginya, tanpa memperdulikan keberlanjutan dari sumberdaya ikan tersebut. Dengan sistem ini, jumlah stok ikan akan tetap tersedia sepanjang masa, dan harga jual akan mengikuti tingkat produksi ikan yang dihasilkan oleh nelayan.

Sedangkan dalam hal program konservasi pesisir, Jerman telah melakukan proteksi terhadap sumberdaya alam laut yang terancam punah, dan melindungi pesisir dari abrasi seperti yang dilakukan  di kawasan National Park Wadden Sea yang melibatkan negara-negara yang terintegrasi dengan kawasan laut tersebut. Dengan program konservasi ini dapat mencegah kerugian yang lebih besar akibat bencana alam.

Dalam menerapkan konsep ekonomi biru ini, harus ditunjang oleh kebijakan yang jelas dari pemerintah, baik kebijakan berupa aturan yang tegas dan insentif ekonomi yang menarik untuk merangsang setiap stakeholders mau ikut mensukseskan konsep ekonomi biru di lingkungannya.

Konsep ini diharapkan dapat diadopsi oleh negara-negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang berlimpah, agar dapat dikelola secara optimal dan berkelanjutan. Tak terkecuali Indonesia yang masih memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, baik sumberdaya alam di darat maupun di laut yang sangat laku di pasaran dunia.

 

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Lalu Solihin, yang adalah salah satu kader muda di PDIP.