DE

International Academy for Leadership
IAF Seminar: Blue Economy

Seminar IAF "Blue Economy", Gummersbach 08-21 Oktober 2016
Peserta Seminar
Peserta Seminar © FNF Indonesia

Acara pelatihan International Academy for Leadership (Internationale Akademie für Führungskräfte/IAF) diikuti oleh 25 peserta dari 21 negara, termasuk negara tuan rumah, Jerman. Pelatihan yang dimaksud difasilitasi oleh Dr. Stefan Melnik dan Dr. Emmanuel Martin, yang mana keduanya merupakan academic scholar yang memiliki reputasi tinggi berkat hasil-hasil karya dan publikasinya di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi dan politik. Format acara yang digunakan berupa kombinasi dari diskusi dan presentasi kelompok yang diikuti tanya jawab, presentasi oleh para fasilitator, serta kunjungan lapangan ke berbagai lokasi penerapan ‘blue economy’ di Jerman.

Blue Economy Seminar, Sustainable Development, IAF Germany
Suasana kelas seminar IAF © FNF Indonesia

Konsep ‘blue economy’ sendiri merupakan konsep luas yang dapat dimaknai secara berbeda-beda. Pemerintah Indonesia (Pemri) mengikuti definisi yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di mana konsep ini dikaitkan dengan pembangunan berkelanjuitan (sustainable development) pada sector maritime (laut dan samudera). Hal ini berbeda dengan makna yang digariskan oleh Club of Rome (terutama oleh Gunter Pauli) di mana ‘blue economy’ dapat diterapkan tidak hanya di sector maritime, melainkan juga di sector-sektor lain seperti energy, agrikultur, hingga pengolahan limbah. Bagi mereka, yang terpenting ‘blue economy’ harus mengandung unsur ‘ekonomi sirkular’, di mana hal-hal yang selama ini menjadi limbah dalam siklus produksi suatu komoditas harus dapat dikurangi jumlahnya dan dimanfaatkan kembali sebagai bahan mentah untuk siklus produksi komoditas lainnya. Konsep ‘blue economy’ merupakan perkembangan lebih lanjut dari konsep ‘green economy’ yang cenderung hanya menitikberatkan pada pelestarian lingkungan, sedangkan ‘blue economy’ berupaya menyeimbangkan antara lingkungan (environment), ekonomi, dan pembangunan manusia (human development) sebagai pelaku konsep tersebut di lapangan.

Blue Economy Seminar, Sustainable Development, IAF Germany
Paparan hasil diskusi kelompok © FNF Indonesia

Dalam berbagai sesi pelatihan, kami menganalisis mengenai keterkaikan konsep ‘blue economy’ dengan prinsip liberalisme. Setelah melalui serangkaian diskusi dan tanya jawab, secara garis besar seluruh peserta sepakat bahwa penerapan ‘blue economy’ harus didorong oleh masyarakat (community-driven) tanpa intervensi yang berlebihan dari pemerintah, berlandaskan pada inovasi berbiaya rendah (low-cost innovation), didukung oleh iklim pasar bebas (free market), dan pada akhirnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari masyarakat tersebut dengan biaya yang terjangkau (affordable). Selain itu, konsep penggunaan data dan logika (reason) dalam prinsip liberalisme dalam hal ini dapat diterjemahkan sebagai pentingnya adanya database yang menyajikan fakta sesungguhnya di lapangan. Hal ini penting sebagai dukungan dalam proses pengambilan keputusan oleh para pembuat kebijakan.

Pada umumnya, seluruh rangkaian acara berjalan baik dan produktif. Kedua fasilitator sangat menguasai bidangnya dan dapat memberikan penjelasan yang baik mengenai kaitan antara ‘blue economy’ dan prinsip liberalisme yang mengedepankan pasar bebas dan juga kebebasan dalam menjalankan usaha, membuat inovasi, dan pentingnya meminimalkan intervensi pemerintah (termasuk subsidi) yang dapat mendistorsi harga barang dan jasa yang beredar di masyarakat. Heterogenitas yang dimiliki para peserta, baik dari sisi kewarganegaraan, budaya, Bahasa, hingga perspektif berpengaruh positif dalam penyelenggaraan acara. Hal ini terkait dengan semakin kayanya esensi dari berbagai sesi diskusi dan tanya jawab, di mana hampir seluruh peserta aktif dalam memberikan kontribusinya masing-masing

Blue Economy Seminar, Sustainable Development, IAF Germany
Penyerahan sertifikat seminar oleh Mrs. Bettina Solinger, Direktur IAF © FNF Indonesia

Adapun hal yang dapat ditingkatkan adalah pilihan terhadap lokasi kunjungan lapangan. Saya menilai contoh-contoh yang ditunjukkan belum mencerminkan konsep ‘blue economy’ yang sesuai dengan prinsip liberalisme yang telah kami diskusikan bersama-sama. Contohnya adalah EnergieBunker yang kami kunjungi di Hamburg. Bunker ini merupakan bangunan yang digunakan warga Hamburg untuk berlindung dari serangan udara pasukan Sekutu pada era Perang Dunia II. Ketika perang berakhir, pemerintah Jerman memutuskan untuk mengubah fungsi bangunan tersebut menjadi lokasi pemanas air bagi sekitar 3,000 rumah tangga yang ada di sekitarnya dengan memanfaatkan gas dan tenaga surya sebagai sumber energinya. Proyek ini menelan biaya jutaan Euro, di mana sebelum mereka dapat melakukan instalasi pemanas air, mereka harus terlebih dahulu membongkar sebagian besar isi bangunan bunker tersebut agar dapat digunakan untuk pemasangan mesin-mesin yang diperlukan. Hingga sekarang, 3,000 rumah tangga yang memanfaatkan air panas dari EnergieBunker masih mengandalkan subsidi pemerintah dalam pembayaran tagihan pemakaiannya. Bagi saya pribadi, proyek Energie Bunker ini justru berlawanan dengan banyak prinsip liberalisme, termasuk adanya peran pemerintah yang dominan (termasuk pemberian subsidi), investasi yang mahal, hingga minimnya peran masyarakat/komunitas dalam perencanaan, pengembangan, maupun perawatannya.

Blue Economy Seminar, Sustainable Development, IAF Germany
Kunjungan lapangan © FNF Indonesia

Namun secara keseluruhan, saya menilai program pelatihan ini merupakan kesempatan dan investasi yang berharga untuk diikuti. Memperluas wawasan dan jaringan pertemanan secara internasional merupakan sebagian dari begitu banyak manfaat yang saya rasakan selama mengikuti program tersebut. Highly recommended for anyone who has strong interest in public policy and international networking!

 

 

Blue Economy Seminar, Sustainable Development, IAF Germany
Makan malam perpisahan di hari terakhir seminar © FNF Indonesia

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Hizkia Respatiadi, yang bekerja sebagai Public policy researcher di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).