DE

International Academy for Leadership
Memahami Kebebasan Bermigrasi dalam Prinsip Liberal

IAF Seminar "Freedom of Movement – A Liberal Principle Challenged”, Gummersbach, 05-17 Maret 2017

Sebagai suatu yayasan politik internasional yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kebebasan, tanpa terkecuali kebebasan bermigrasi, pada tanggal 5-17 Maret 2017 yang lalu, Friedrich Naumann Foundation Fur Die Freiheit menyelenggarakan Seminar IAF (International Leadership Academy) dengan tema “Freedom of Movement – A Liberal Principle Challenged”. Seminar tersebut diselenggarakan di Theodor Heuss Akademie yang berlokasi di Gummersbach, Jerman.

Seminar yang berlangsung selama 12 hari tersebut dihadiri oleh 24 peserta dengan latar belakang serta asal negara yang sangat beragam. Dalam seminar tersebut, Indonesia diwakili oleh dua orang, yaitu saya sendiri serta kawan baik saya yang saya kenal pertama kali di salah satu lokakarya yang diselenggarakan oleh Friedrich Naumann Stiftung beberapa tahun silam, yaitu Rofi Uddarojat. Saya merasa sangat beruntung karena diberikan kesempatan untuk mengikuti seminar yang sangat prestisius tersebut. Secara garis besar, seminar tersebut membahas mengenai prinsip-prinsip kebebasan bermigrasi dari sudut pandang liberal, serta hubungan-hubungannya dengan hak-hak dasar manusia serta pentingnya pemenuhan hak-hak tersebut. Adapun sesi-sesi dalam seminar tersebut difasilitasi oleh dua fasilitator yang memiliki pengetahuan sangat mendalam di bidang terkait, yaitu Eniko Gal dan Stefan Melnik.

“Freedom of Movement – A Liberal Principle Challenged”
© FNF Indonesia

Karena hari pertama hanya diisi dengan perkenalan serta orientasi mengenai Theodor Heuss Akademie, yaitu tempat kami tinggal selama seminar, maka seminar sesungguhnya baru dimulai di hari kedua. Pada hari kedua seminar, tiap-tiap peserta diberikan kesempatan untuk menjelaskan kepada peserta lainnya mengenai keadaan serta data-data terkait imigrasi ke dan emigrasi dari negaranya masing-masing. Saya menjelaskan mengenai tujuan-tujuan utama emigran dari Indonesia serta alasan-alasan emigrasinya, dan juga negara-negara utama penyumbang imigran terbesar di Indonesia, serta alasan mereka bermigrasi ke Indonesia. Di hari yang sama, kami juga mendiskusikan mengenai human trafficking, serta solusi-solusi yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut, tentunya dari sudut pandang liberal.

Pada hari ketiga, kami membahas dengan mendalam mengenai perbedaan-perbedaan antara migrants, asylum seekers, refugees, dan economic migrants. Selain membahas mengenai perbedaan-perbedaan serta pengertian masing-masing kategori tersebut, kami juga membahas payung hukum internasional yang mewadahi pihak-pihak tersebut. Kami membahas mengenai kewenangan otoritas terhadap pihak-pihak tersebut serta hak-haknya. Diskusi tersebut sangat menarik karena ternyata belum banyak yang mengetahui perbedaan antara tiap-tiap kategorisasi tersebut. Setelah makan siang, kami melanjutkan diskusi kami, namun dengan topik yang berbeda, yaitu mengenai pola-pola migrasi global.

Hari keempat tidak kalah menarik dari hari-hari sebelumnya. Sesi pertama di hari ini diisi oleh dua orang peserta yang berasal dari Afrika Selatan dan Lebanon. Presentasi pertama dilakukan oleh Haniff, seorang anggota parlemen dari Afrika Selatan. Hanif melakukan presentasi mengenai buruknya keadaan imigran-imigran Zimbabwe serta negara-negara Afrika lainnya di Afrika Selatan. Presentasi kedua dilakukan oleh Zaydoun, seorang peneliti di bidang migrasi yang berasal dari Lebanon. Adapun yang dipresentasikan oleh Zaydoun dapat dikatakan sangat mirip dengan yang dipresentasikan oleh Haniff, yaitu tentang buruknya keadaan imigran Syria di Lebanon. Setelah makan siang, kami meninggalkan akademi untuk pergi ke Cologne. Di Cologne, kami menemui Ahmet Edis serta Eli Abeke yang berasal dari Cologne Municipal Integration Council. Mereka bercerita banyak kepada kami mengenai proses integrasi refugee serta migran untuk dapat hidup layak dan nyaman di tempat yang benar-benar baru.

Keesokan harinya, dua orang peserta kembali melakukan presentasi. Kali ini yang melakukan presentasi adalah Muge dari Turki yang merupakan seorang akademisi serta Evenhii dari  Ukraine yang merupakan seorang politisi. Kedua peserta memberikan presentasi dengan topik yang sama, yaitu mengenai permasalahan-permasalahan yang dihadapi negara-negara yang menjadi tujuan refugee. Sebagai individu yang berasal dari negara yang benar-benar mengalami hal tersebut, tentunya presentasi mereka sangat informatif serta didukung oleh cerita-cerita empiris dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.

Pada hari ketujuh sampai kesepuluh, yaitu pada tanggal 11-14 Maret, kami mengunjungi Hamburg untuk tujuan studi lapangan. Pada tanggal 11, di tengah-tengah perjalanan dari Gummersbach ke Hamburg, kami singgah di Bremerhaven. Di Bremerhaven kami mengunjungi sebuah museum yang mengisahkan mengenai emigran-emigran Jerman yang hijrah ke negara-negara lainnya seperti Amerika Serikat, Australia, dan lain-lain, demi harapan akan kehidupan yang lebih baik. Di museum tersebut dikisahkan pula emigran-emigran Jerman yang sukses di negara tujuannya. Di Hamburg, kami mendapat kesempatan untuk menemui Toufic El Masri yang bekerja untuk Advisory Center for Migrant Companies of The Chamber of Commerce Hamburg, serta Max Friedrich Steinhardt yang merupakan seorang akademisi di Helmut Schmidt University. Namun, menurut saya, pengalaman paling menarik selama studi lapangan di Hamburg, dan juga bahkan pengalaman menarik selama seminar ini adalah mengunjungi langsung refugee camp yang berada di Hamburg. Pada saat mengunjungi camp tersebut, saya mendapat kesempatan untuk secara langsung berbincang-bincang santai dengan beberapa refugee yang kebanyakan berasal dari timur tengah.

Sekembalinya kami di akademi yaitu pada tanggal 15 Maret, kami kedatangan Maria Schiller yang merupakan pengajar di Max Planck Institute. Beliau memberikan presentasi mengenai tinjauan kritis terhadap pemerintahan urban. Pada hari itu, berlangsung pula satu sesi yang menurut saya sangat menarik. Pada malam hari setelah makan malam, kamu menemui beberapa pelajar yang merupakan refugee dari syria serta negara-negara timur tengah lainnya yang sedang dilanda konflik. Pada saat ini, mereka belajar di Jerman dan juga telah fasih berbahasa Jerman. Sesi ini menurut saya sangat menarik karena kami bisa secara langsung mendengar pengalaman seorang anak dalam hal berintegrasi dan menyesuaikan diri sebagai refugee di lingkungan yang benar-benar baru.

Keesokan harinya, yang juga merupakan hari terakhir bagi kami dalam rangkaian seminar ini, kami melakukan presentasi kelompok mengenai tema-tema yang telah ditentukan. Adapun tema-tema tersebut adalah mengenai kebijakan migrasi liberal, perbedaan perlakuan kepada migrasi dari satu negara dengan negara lainnya, serta hal-hal mendasar apa saja yang harus ada dalam kebijakan migrasi.

 

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Imantaka Nugraha yang adalah Co-founder Students For Liberty Indonesia.