DE

International Academy for Leadership
Membangun NGO yang Kuat

IAF Seminar “Strengthening NGOs: Winning Support for Ideas and Their Political Implementation”, Gummersbach, 26 Maret-07 April 2017

Seiring perkembangan politik dan kultur demokrasi yang semakin mapan, masyarakat semakin membutuhkan kanal untuk menyalurkan aspirasi dan idealisme mereka tentang kehidupan publik yang lebih baik. Tadinya (dan seharusnya), peran penyaluran aspirasi tersebut ada di partai politik. Namun, semakin ke sini peran partai politik berangsur-angsur berubah dari organisasi politik massa menjadi sekedar alat bagi para politisi untuk tetap berpartisipasi di dalam arena perebutan kekuasaan.

Untuk itu masyarakat sipil membutuhkan kanal lain yang lebih dapat diandalkan. Di banyak negara demokratis, peran penyaluran aspirasi ini banyak diambil oleh non-government organization (NGO) atau yang di Indonesia lebih akrab disebut sebagai “lembaga swadaya masyarakat” (LSM). NGO adalah organisasi masyarakat sipil yang didirikan secara swadaya/mandiri oleh masyarakat sipil untuk “menangani” isu atau persoalan sosial tertentu, misalnya: korupsi, kesetaraan gender, perlindungan konsumen, hak-hak minoritas, ekonomi, bantuan hukum, hak-hak disabilitas, dan lain sebagainya. Contoh NGO yang ada di indonesia, misalnya: Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Jurnal Perempuan (YJP), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan lain sebagainya.

Melalui NGO, masyarakat sipil mendapatkan wadah untuk mengadvokasi dan memperjuangkan isu-isu yang mereka anggap penting. Mengingat begitu banyaknya persoalan sosial yang hinggap di masyarakat, maka tidak heran apabila jumlah NGO (terutama di negara-negara berkembang dan demokratis) menjadi sangat banyak. Di India, misalnya, ada sekitar dua juta NGO pada tahun 2009. Sedangkan di China jumlahnya mencapai 440.000. Di Indonesia sendiri, jumlah NGO dan organisasi masyarakat yang resmi tercatat di Kementerian Dalam Negeri ada sekitar 65.000 organisasi.

Tentu saja tidak semua NGO tersebut berkualitas. Ada banyak NGO “gurem” yang usianya tidak sampai setahun-dua tahun, lalu bubar. Sebagian besar NGO pun sebetulnya tidak benar-benar membawa perubahan dan dampak yang signifikan di dalam masyarakat. Bahkan banyak NGO yang sengaja didirikan untuk “menyedot” dana dari yayasan donor, tanpa pernah dana tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan.

Persoalannya: membangun NGO yang kuat dan berkualitas memang tidak mudah. Apa yang dilakukan NGO bukanlah sesuatu yang profitable, sehingga sulit bagi NGO untuk sekedar mendapatkan dana operasional belaka. Selain itu, sulit juga mendapatkan tenaga kerja yang profesional dan berdedikasi tinggi terhadap isu yang diperjuangkan.

Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang cukup bagi pekerja NGO tentang bagaimana cara membangun dan mengelola NGO yang kuat dan profesional.

Pada tanggal 25 Maret hingga 7 April 2017 lalu, saya berkesempatan mengikuti seminar “International Academy for Future Leadership” (IAF) dengan tema “Strengthening NGOs: Winning Support for Ideas and Their Political Implementation” yang dilaksanakan di Gummersbach, Jerman. Di dalam seminar dua belas hari tersebut, saya belajar banyak hal tentang bagaimana membangun dan mengembangkan NGO menjadi lebih kuat dan profesional.

Setidaknya ada lima topik utama terkait isu penguatan NGO yang saya dapat dari Seminar IAF: dasar-dasar penguatan NGO (tujuan, manajemen, dan aktivitas), relasi NGO dengan korporasi, mengelola volunteer (sukarelawan), fundraising, dan pengembangan ide

Hal pertama dan utama yang saya pelajari dan saya ingat betul dari seminar tersebut adalah soal yang paling mendasar: apa yang membedakan NGO yang kuat dari NGO yang buruk? Jawabannya ada di tujuan NGO itu sendiri. NGO yang kuat adalah NGO yang memiliki tujuan yang jelas dan kuat pula.

Tujuan (purpose) membedakan seorang visioner dari orang-orang yang sekedar ikut tren. Inilah yang membedakan Steve Jobs dengan pesaing-pesaingnya yang datang sesudahnya. Steve Jobs (Apple Inc.) tidak hanya tahu “apa” (“what”) yang mereka jual, dan “bagaimana” (“how”) membuat dan memasarkan produk-produk yang ia ciptakan. Lebih jauh, Steve Jobs tahu “mengapa” (“why”) ia melakukan apa yang ia lakukan: ia menginginkan masa depan di mana teknologi yang ia ciptakan dapat meruntuhkan status quo, yakni cara-cara lama yang digunakan orang dalam menggunakan teknologi komunikasi.

Sama dengan kerja membangun NGO: visi dan misi yang kuat hanya dapat dibangun apabila kita memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Maka, hal pertama yang diajarkan di seminar adalah mengenai purpose atau tujuan dari NGO, khususnya tentang bagaimana merumuskan tujuan NGO kita dan menyesuaikannya dengan visi-misi, aktivitas, dan harapan-harapan yang ingin kita raih melalui NGO tersebut.

Setelah merumuskan tujuan NGO, kita bisa merumuskan aktivitas, program, proyek kerja, hingga persoalan manajemen seperti human resource dengan lebih mudah. Hanya saja, hanya ada dua persoalan spesifik yang akan saya bahas pada artikel ini, karena dua persoalan inilah yang kerap menghantui banyak NGO di dunia, yakni persoalan fundraising (finansial) dan volunteer (tenaga kerja sukarela).

Sebagaimana sudah saya sebutkan, kerja NGO adalah jenis kerja yang non-profitable. Oleh karena itu para aktivis NGO seringkali harus mengandalkan dana proyek dari lembaga donor agar tetap dapat menjalankan aktivitas mereka dengan lancar. Sayangnya, ketergantungan NGO terhadap donor ini kerap menimbulkan friksi di antara kedua belah pihak. Banyak kasus di mana NGO harus menggadaikan visi dan prinsip mereka hanya agar dapat memenuhi tuntutan pemberi dana. Di sisi lain, pihak NGO juga sering melanggar prinsip akuntabilitas dalam menggunakan dana donor akibat kurangnya tenaga kerja finansial yang profesional.

Untuk itu NGO perlu menjadi lebih kreatif dan independen dalam melakukan fundraising. Di Seminar IAF, saya dan para peserta lain diajak berbincang dengan Frederik Cyrus Roeder, Vice President Students for Liberty bagian Finance & Operations, terkait tips-tips dan trik untuk menggalang dana dari berbagai sumber. Menurut Frederik, ada banyak sumber pendanaan bagi organisasi non-profit, di antaranya adalah dana dari hibah korporasi, individu filantropis, merchandising, atau, yang paling sering menjadi andalan NGO, dana dari lembaga donor.

Masing-masing sumber pendanaan tersebut memerlukan teknik pendekatan dan manajemen yang berbeda-beda. Misalnya, untuk mendapatkan dana dari hibah korporasi, kita perlu menyiapkan riset untuk mengetahui: (1) apakah perusahaan menyediakan hibah sosial; (2) kesamaan interest atau kepentingan dengan perusahaan; dan (3) individu atau pejabat yang bertanggung jawab mengurus dana hibah sosial perusahaan.

Berbeda halnya dengan individu filantropis. Untuk mencari peluang pendanaan dari filantropi, pihak NGO harus lebih proaktif mendekati sumber pendanaan. Misalnya dengan menyelenggarakan acara sosial seperti gala dinner atau acara pertemuan lain dengan pemangku kepentingan (stakeholders) dan investor. Aktivitas ini juga berguna untuk mengembangkan relasi dengan donatur-donatur lain yang kebetulan punya ketertarikan terhadap isu yang sama dengan organisasi kita.

Selanjutnya, untuk membicarakan persoalan tenaga kerja sukarela (volunteer), kami bertemu dengan Ria Schröder dari Young Liberals, organisasi sayap kepemudaan dari Free Democratic Party (FDP), partai liberal Jerman. Pada kesempatan tersebut, Ria mengkonfirmasi berbagai tantangan yang dihadapi NGO dalam mengelola sukarelawan, misalnya: kesulitan mencari sukarelawan yang memahami prinsip dan value yang dianut organisasi, kurangnya profesionalitas, serta perbedaan ekspektasi antara sukarelawan dengan organisasi.

Strengthening Ngo, IAF Seminar
© IAF Indonesia

Terjadi diskusi yang sangat intens di dalam sesi ini. Beberapa peserta yang organisasinya pernah memperkerjakan banyak sukarelawan menyumbangkan banyak masukan dan opini.

Dari diskusi tersebut, disimpulkan bahwa salah satu hal terpenting dalam mengelola tenaga kerja sukarela adalah upaya komunikasi untuk memahami keinginan dan kebutuhan para sukarelawan. Tiap-tiap sukarelawan memiiki motif dan harapan yang berbeda-beda ketika bekerja untuk organisasi. Ada sukarelawan yang memang ingin berkarir di organisasi, ada pula yang menjadikan pekerjaannya di organisasi sebagai batu loncatan untuk mengembangkan karirnya di tempat lain. Mengetahui kebutuhan dan keinginan sukarelawan penting bagi organisasi agar dapat mengelola dan memaksimalkan peran mereka di dalam proses kerja dan aktivitas yang dilakukan.

Harus diakui bahwa membangun dan mengelola NGO yang kuat dan berkualitas tidaklah mudah. Tetapi itu bukanlah misi yang mustahil. Sudah banyak contoh NGO di dunia yang berhasil membawa perubahan-perubahan penting bagi masyarakat, sebut saja: Students for Liberty di Brazil yang berperan besar menggulingkan presiden Dilma Rousseff. Contoh lain: Wikimedia Foundation, World Wildlife Fund (WWF), Transparency International, Greenpeace, Amnesty International, dan Khan Academy, dan, tentu saja, Wikileaks.

Saya sungguh beruntung mendapatkan kesempatan belajar dari aktivis-aktivis yang berasal dari berbagai negara tentang bagaimana mengelola dan mengembangkan NGO yang baik. Selama dua belas hari menjalani Seminar IAF, nyaris setiap hari saya mempelajari hal baru. Cerita-cerita yang saya dapat dari sesama peserta, terutama cerita soal kesulitan dan tantangan yang mereka hadapi di negara masing-masing serta bagaimana mereka meyikapi kesulitan tersebut, adalah pelajaran yang paling berharga yang bisa saya dapat sebagai seorang aktivis.

 

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Djohan Rady, yang bekerja sebagai Regular Contributor/Columnist di Suara Kebebasan.