DE

International Academy for Leadership
Pengembangan Kewirausahaan dan “Open Market”

IAF Seminar "Promoting Entrepreneurship and Open Market", Gummersbach, 13 - 25 Agustus 2017
Peserta Seminar
Peserta Seminar © Mokhamad Farid Fauzi

Promoting Entrepreneurship with Liberal Thought. Kira-kira itulah yang saya dapat saya simpulkan selama dua minggu mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh IAF dengan tema Promoting Entrepreneurship and Open Market. Pengembangan kewirausahaan yang dimaksud dalam seminar ini tidak melalui pembicara yang membangkitkan semangat berwirausaha, tapi melalui peran pemerintah dalam bentuk kebijakan, program ataupun peraturan.

Sebelum mendeskripsikan pengalaman saya mengikuti seminar, terlebih dahulu saya ingin menyampaikan penyebab saya tertarik mengikuti seminar ini. Sebagai salah seorang yang aktif dalam Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK), pengembangan kewirausahaan adalah satu topik yang kami geluti. Tetapi jika pengembangan tersebut dibarengi dengan konsep open market adalah sesuatu yang belum pernah kami pikirkan (dalam hal ini kami tidak mengetahui apakah yang pernah kami lakukan sebelumnya sesuai dengan konteks “open markets”). Pengembangan kewirausahaan dengan “open market” inilah yang membuat saya tertarik untuk mendatar. Hal ini disebabkan realitas bahwa start-up (wirausaha pemula) langsung menghadapi realitas kompetisi di pasar (bahkan hingga kompetisi pasar bebas). Indonesia sendiri sudah masuk dalam pasar bebas ASEAN.

Sebagaimana telah saya sebutkan di bagian awal tulisan ini, bahwa seminar pengembangan kewirausahaan ini berbeda dengan yang saya ketahui di Indonesia. Jika di Indonesia (pada umumnya) seminar pengembangan kewirausahaan mendatangkan narasumber yang membagikan semangat dan praktik wirausaha sehingga peserta tertarik utuk menjadi wirausaha, maka seminar kali ini lebih menitikberatkan pada iklim/lingkungan yang harus dibangun untuk menumbuhkan wirausaha. Dalam konteks ini fokus pada peran pemerintah dalam pengembangan lingkungan wirausaha.

Ekskursi ke Koeln
Ekskursi ke Koeln © Mokhamad Farid Fauzi

Seminar ini menawarkan pemerintah dengan paradigma liberal. Yang saya pahami adalah pemerintah tidak memberikan fasilitas/program/kebijakan khusus kepada kelompok tertentu, misalnya kelompok pendukung pemerintah, tapi lebih pada memberikan fasilitas atau menyusun kebijakan pro-entrepreneur kepada seluruh masyarakat tanpa diskriminasi. Dalam diskusi sempat muncul contoh yang cukup ekstrem, yaitu pemberian visa bagi start-up luar negeri yang ingin mengembankan bisnis di Indonesia. Start-up luar negeri tersebut akan mendapatkan fasilitas yang serupa dengan start-up dalam negeri. Fasilitas tersebut seperti kemudahan fasilitas kantor seperti co-working space maupun insentif pajak.

Salah satu contoh keberhasilan dan praktik baik yang saya ingat adalah bagaimana Pemerintah Berlin di Jerman melakukan pengembangan kewirausahaan. Disebutkan bahwa Pemerintah Berlin memberikan fasilitas co-working space yang murah dari infrastruktur yang tidak terpakai, yaitu bekas Bandara Berlin. Hal ini karena salah satu masalah yang dihadapi start-up di Berlin adalah mahalnya biaya sewa kantor atau ruang kerja, bahkan termasuk salah satu yang termahal di Eropa. Fasilitas co-working space di bekas Bandara Berlin dapat dinikmati oleh semua start-up dari seluruh dunia, hingga menjadikan Kota Berlin menjadi salah satu pusat pertumbuhan start-up di Eropa.

Dalam seminar tidak disarankan untuk memberikan fasilitas berupa subsidi karena terbukti subsidi hanya bersifat jangka pendek dan membebani secara jangka panjang. Fasilitator seminar memberikan contoh pelaksanaan subsidi yang sebenarnya tujuan mendukung pengembangan wirausaha bidang energi terbarukan tapi tidak berhasil dan akhirnya menjadi beban negara karena harus memberikan subsidi. Contoh tersebut berasal dari negara Jerman sendiri, yaitu pemberian subsidi harga untuk pengembangan energi terbarukan (ramah lingkungan). Diharapkan dengan adanya subsidi, harga energi terbarukan di Jerman menjadi murah dan mampu bersaing dengan energi berbasis fosil (minyak bumi dan batu bara). Dengan adanya subsidi harga diharapkan akan muncul para pelaku wirausaha baru atau start-up di bidang energi terbarukan karena resiko berbisnis menjadi kecil dengan adanya subsisi harga. Akan tetapi, kenyataan yang terjadi setelah beberapa tahun subsidi adalah harga energi terbarukan tetap mahal walaupun sudah ada subsidi. Hal ini karena pelaku bisnis energi terbarukan kurang tertarik berinovasi dalam hal teknologi karena bisnis mereka saat ini sudah nyaman dengan adanya subsidi.

Persoalan lain yang dihadapi dalam pengembangan wirausaha budaya. Beberapa budaya mempunyai batasan terhadap tindakan atau bahkan pemikiran karena terkait dengan salah satu aspek kehidupan masyarakat, misalnya agama. Dalam seminar, terhadap sebuah sesi dimana para peserta diharuskan memberikan sebuah ide yang akan dijalankan untuk menjadi bisnis. Makin ekstrim ide yang muncul akan makin menarik. Dan pemenangnya adalah ide tentang “fasilitas penyediaan fasilitas tempat berhubungan intim (seks) bagi pasangan di tempat umum, misal mall”. Dalam seminar disebut sebagai “sex in the box”. Sebuah ide yang hampir mustahil untuk direalisasikan di Indonesia.

Pengetahuan yang saya peroleh selama seminar, coba saya bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah di Indonesia, khususnya Surabaya. Kenapa Surabaya? Karena setidaknya salah melihat bahwa Surabaya adalah salah satu dari sedikit pemerintah daerah di Indonesia yang peduli terhadap pengembangan wirausaha (start-up). Pemerintah Kota Surabaya menyediakan fasilitas berupa mentorship bagi start-up dari pebisnis yang berpengalaman dan menyediakan fasilitas co-working space murah. Sebagai sesuatu yang baru dilaksanakan pada tahun 2017, tentunya kita tidak bisa melihat hasilnya saat ini, tapi setidaknya saya melihat peran pemerintah ke arah yang sesuai dengan pengalaman negara lain yang berhasil dalam pengembangan wirausaha.

Hal lain yang menurut saya menarik adalah pengalaman internasional. Seminar diikuti oleh 26 peserta dari 24 negara yang hampir terbagi rata dari hampir semua benua/region, kecuali Australia. Terdapat peserta dari negara maju Eropa Barat dan Emerging Countries seperti Indonesia, Amerika Latin dan Eropa Timur. Ada juga peserta dari negara berkembang di Afrika dan Asia Selatan. Bahkan juga terdapat peserta dari negara rawan konflik seperti negara-negara di kawasan Timur Tengah.

Latar belakang peserta juga beberapa macam. Ada yang berasal dari NGO seperti saya, anggota parlemen, pemimpin pemerintahan (walikota), kelompok pemikir (think-thank), pengusaha hingga konsultan pengembangan wirausaha. Beragam latar belakang peserta tersebut tentulah menjadikan seminar makin menarik karena beragam pemikiran dari semua peserta dalam seminar.

Mokhamad Farid Fauzi
Mokhamad Farid Fauzi © Mokhamad Farid Fauzi

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Mokhamad Farid Fauzi yang bekerja sebagai Program Manager of PUPUK (Association of Advancement of Small Business) Surabaya Office.