DE

International Academy for Leadership
Political Avenues to Opening Markets and Promoting Entrepreneurship

IAF Seminar "Political Avenues to Opening Markets and Promoting Entrepreneurship”, Gummersbach, 29 Oktober - 11 November 2016
IAF "Political Avenues to Opening Market and Promoting Entrepreneurship"
IAF "Political Avenues to Opening Market and Promoting Entrepreneurship" © FNF Indonesia

Pada 29 Oktober hingga 11 November 2016, International Academy for Leadership (IAF) mengadakan seminar bertajuk “Political Avenues to Opening Markets and Promoting Entrepreneurship” dimana saya berkesempatan untuk berpartisipasi sebagai salah satu peserta dari Indonesia. Seminar tersebut sendiri dihadiri oleh peserta dari 21 negara dengan jumlah 26 orang dan di-fasilitasi oleh duet kolaborasi Dr. Stefan Melnik dan Dr. Emmanuel Martin. Meskipun tema dari seminar terdengar serius, namun konsep dari seminar lebih bersifat interaktif, penuh dengan diskusi dan mencoba mengambil intisari dari pengalaman-pengalaman para peserta seminar.

Pembahasan dalam seminar sendiri mencakup sisi yang cukup luas dan tidak hanya berkutat pada tema yang ada pada judul seminar, para peserta diajak untuk memahami tentang “economic freedom”, “property rights”, insentif pasar dan kewirausahaan hingga konsep-konsep seperti “creative destruction” dan “social responsibility” lewat teropong prinsip-prinsip liberalisme. Tidak lupa, seminar juga membahas konsep-konsep dari para pemikir liberalisme, seperti Ludwig von Mises dan Friedrich Von Hayek terkait kebijakan ekonomi yang pro pasar.

Para fasilitator menggunakan berbagai metode untuk membahas topik-topik tersebut. Salah satu metode yang cukup unik dan insightful adalah studi kasus “The $1500 Sandwich” (https://www.youtube.com/watch?v=URvWSsAgtJE) yang  bahkan dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang tiga topik sekaligus yaitu kewirausahaan, insentif pasar dan fokus ekonomi. Sesi diskusi juga diisi dengan saling tukar pikiran antar peserta dengan alur yang dinamis terutama pada pembahasan tentang definisi seorang entrepreneur, tantangn yang digadapi oleh seorang entrepreneur di negara masing-masing atau tentang kebijakan-kebijakan publik yang mendorong ekonomi pasar dan kewirausahaan. Dari sesi diskusi ini didapat insights yang cukup menarik dari pengalaman di berbagai negara. Misalnya muncul istilah “tenderpreneur” di Afrika Selatan yang merujuk pada para entrepreneur yang gemar berkolusi dengan pejabat pemerintahan demi memenangkan sebuah proyek tender pemerintah yang dibiayai oleh anggaran negara, sebuah istilah yang menurut saya juga relevan dengan kondisi di Indonesia bahkan hingga saat ini. Hal lain yang cukup relevan dengan kondisi di Indonesia adalah betapa sulitnya para pengusaha (terutama usaha mikro dan kecil) untuk mendapatkan akses permodalan. Temuan diskusi  lainnya yang cukup mengejutkan adalah dimana Vietnam ternyata adalah negara yang paling tinggi respon positifnya terhadap konsep free trade serta betapa mudahnya mendirikan sebuah perusahaan di New Zealand dimana seluruh proses dan prosedur selesai hanya dalam waktu satu hari saja.

Suasana Diskusi Kelas
Suasana Diskusi Kelas © FNF Indonesia
Salah satu sesi seminar
Salah satu sesi seminar © FNF Indonesia

Salah satu sesi diskusi yang out of the box adalah tinjauan atas terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Topik ini sebelumnya tidak tercantum dalam agenda, namun melihat dinamika yang terjadi di dalam seminar, para peserta dan fasilitator bersepakat untuk mengangkat momen tersebut sebagai bagian dari pembahasan di dalam seminar. Meskipun hampir seluruh peserta seminar merasa terkejut atas terpilihnya Donald Trump, ada beberapa hal yang dapat diambil pelajarannya antara lain bahwa kebijakan ekonomi-politik yang dijanjikan Donald Trump dalam kampanyenya beberapa dinilai bertentangan dengan prinsip liberal walaupun ada juga beberapa poin yang masih bisa diterima. Dan meskipun Donald Trump mencitrakan dirinya sebagai pengusaha sukses namun dia bukanlah sosok pengusaha yang layak untuk dijadikan referensi.

Pada sesi field-trip, para peserta berkesempatan untuk berkunjung ke tiga kota yaitu Koeln, Diepholz dan Hamburg untuk melihat langsung bagaimana kondisi ekosistem kewirausahaan di Jerman. Yang menurut saya cukup menarik adalah ketika kami berkunjung ke Diepholz dan mengadakan diskusi singkat dengan walikotanya. Diepholz adalah kota kecil yang cukup sukses dalam membangun iklim bisnis, ditandai dengan beberapa industri yang memutuskan untuk melakukan relokasi ke Diepholz dan (ini yang menarik) adanya kesinambungan antara dunia akademik dengan industri. Di Diepholz tidak ada universitas, namun yang dikembangkan adalah semacam balai-balai latihan kerja yang menghasilkan tenaga terampil. Sebuah inisiatif yang efektif dalam menggerakkan roda ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan

Dari serangkaian diskusi dan aktivitas tersebut, para peserta berkesimpulan bahwa kondisi yang dapat mendorong terciptanya ekosistem kewirausahaan yang baik adalah sebuah kombinasi dari minimnya intervensi pemerintah (terutama pada konteks regulasi), ekonomi pasar bebas dan kompetitif, serta hukum yang efektif. Kebijakan pemerintah berupa insentif pajak bagi pengusaha pemula serta birokrasi yang transparan merupakan dua hal yang dirasa sebagai peran yang dapat diambil oleh pemerintah. Sedangkan peran dari kalangan industri adalah mendorong terciptanya spesialisasi sehingga diharapkan akan muncul pengusaha-pengusaha baru untuk mengisi bidang-bidang yang lowong seiring terjadinya spesialisasi pekerjaan. Tak lupa tentunya peran dari masyarakat sipil dan komunitas, dimana salah satu faktor penting munculnya pengusaha tangguh adalah adanya lingkungan sekitar yang mendukung. Secara keseluruhan, program seminar ini sangat insightful dan kontekstual baik dari segi konten dan metodenya. Beberapa hal juga saya nilai dapat diterapkan di Indonesia yang kini sedang intensif mengobarkan semangat kewirausahaan mulai dari yang sifatnya tech-business hingga yang berbasis komunitas desa. Danke schoen IAF!!

 

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Diovio Alfath, yang merupakan anggota dari Team Kelompok Muda tentang Perubahan Iklim, sebuah NGO yang didirikan oleh Alumni Kegiatan Lokakarya Perubahan Iklim oleh FNF.