DE

International Academy for Leadership
"Political Branding": antara Gagasan dan Praktik

IAF Seminar "Political Branding", Gummersbach, 3 - 15 Desember 2017
Peserta dan fasilitator seminar
Peserta dan fasilitator seminar © FNF Indonesia

Salju turun untuk pertama kalinya di penghujung tahun 2017 di kota Gummersbach, Jerman bertepatan pula dengan tibanya saya dari Jakarta, Indonesia untuk ikut serta dalam program seminar International Academy for Leadership (IAF) tentang “Political Branding” yang diselenggarakan pada 3-15 Desember 2017. Program yang diselenggarakan oleh Yayasan Politik Frederich Naumann for Freedom tersebut dihadiri oleh 24 orang peserta dari 23 negara yang berbeda. Acara seminar dilakukan di Theodore Heuss Academy, milik Yayasan Politik Frederich Naumann for Freedom di kota itu.

Di akademi yang tertata rapi dan nyaman itu, saya dan 23 peserta menjadi satu keluarga dari latar belakang budaya yang berbeda-beda untuk belajar bersama tentang political branding. Kelas kami difasilitasi oleh dua orang yang bersahaja dari Afrika Selatan, Marike Groenewald dan Trisha Lord untuk memandu kelas, baik itu diskusi, kerja kelompok dan menemani kami ketika kami melakukan kunjungan lapangan untuk melihat secara langsung bagaimana konsep branding dipraktekkan baik itu di partai politik dan lembaga non-partai politik. 

Acara akademi (2/12) dibuka oleh Direktur IAF Bettina Solinger dengan menyampaikan perkenalan tentang sejarah akademi tersebut, run-down program, perkembangan politik di Jerman dan tidak ketinggalan acara pembuka itu menjadi ajang perkenalan bagi kami sesama peserta. Perkenalan itu menjadi menarik karena kami berasal dari berbagai belahan negara dan profesi yang berbeda. Ada yang telah menjadi anggota legislatif, calon anggota legislatif, dosen, pengacara, dan pimpinan lembaga non-pemerintah yang terus berkampanye tentang ide-ide kebebasan, humanisme dan pluralisme di negara yang cenderung otoriter. Beragamnya latar belakang dari peserta dan pengalaman yang melatarbelakanginya telah memperkaya persepektif saya tentang political branding khususnya ketika sesi sharing, setiap peserta diberikan kesempatan untuk bercerita tentang pengalamannya tentang isu tersebut. setiap peserta bercerita tentang apa yang dia pahami tentang political branding dan studi kasus di negaranya masing-masing.

Keesokan harinya (3/12) secara resmi kelas akademi dimulai. Program seminar dibagi dalam dua konsep besar. Belajar di kelas dan kunjungan ke Berlin selama empat hari. Di kelas kami belajar tantang teori, sharing pengalaman, studi kasus menajemen political branding di berbagai negara dan sesi kerja kelompok. Di Berlin kami belajar tentang menajemen krisis dalam political branding dipandu oleh Annika Arras dari Estonia. Perempuan yang begitu kaya pengalaman tentang politik di Estonia menceritakan pengalamannya membangun brand partai di Estonia, membangun kepercayaan kepada masyarakat dan bagaimana merumuskan strategi yang terukur dan tepat ketika partai kehilangan kepercayaan dari pemilih, dia menyebutkan rebranding strategy.

Salah satu sesi presentasi
Salah satu sesi presentasi © FNF Indonesia

Perdebatan yang menarik selama kelas berlangsung di Gummersbach dan Berlin ataupun pada saat kunjungan lapangan terpusat pada pertanyaan filsofis apakah branding sebuah partai lebih efesien dibangun berdasarkan core value atau ide-ide yang dikembangkan partai tersebut seperti ide-ide kebebasan, humanisme, pluralisme atau berdasarkan apa yang masyarakat butuhkan (berbasiskan survey, kemudian dari survey dirumuskan branding partai. Resikonya bisa saja brand itu tidak sesuai dengan core value partai tapi hanya digunakan untuk tujuan pragmatis, mengambil suara pemilih). Argumen pertama kerap kali dikritik karena dalam konteks pemilu yang membutuhkan suara masyarakat gagasan yang kita tawarkan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat.

Perdebatan dua argumen inilah yang secara umum mewarnai kelas political branding yang saya ikuti. Tetapi perdebatan itu di Berlin menemukan titik temu ketika Annika Arras menceritakan pengalamannya di Estonia. Dia juga mengalami dilema yang sama, tarikan antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Belajar dari pengalaman Annika Arras, ide atau gagasan partai harus mampu diterjemahkan dengan kreatif dan harus mampu menjawab persoalan-persoalan sosial yang dialami masyarakat. Dan menurutnya ketika membangun brand satu partai,  syarat yang terpenting adalah konsistensi dengan nilai yang dibangun, semua anggota mengerti tentang nilai tersebut dan apa yang dikatakan sesuai dengan yang dipraktikkan. Contohnya: ketika partai membranding sebagai partai anti korupsi maka partai itu harus konsisten dengan ide tersebut. mencerminkan kepada publik bahwa partai tersebut adalah partai yang trasnsparan dari sisi laporan keuangan dan publik dapat mengaksesnya. Ini adalah contoh kecil tentang konsistensi dengan nilai yang dibangun.

Memaknai "Political Branding"
Memaknai "Political Branding" © FNF Indonesia

Selama kegiatan seminar yang tak kalah menarik sebetulnya diskusi informal sesama peserta diluar kelas. Bertukar pengalaman tersebut membuat hubungan antara sesama peserta sudah seperti keluarga. Kerap kali selama perjalanan keluar kota ataupun di akademi kita bertukar pikiran tentang ide-ide politik yang berkembang di Eropa, Ukrania, Asia Tenggara, Timur Tengah hingga Amerika Latin.  Dan diskusi-diskusi itu sangat membantu kami untuk bisa mendengarkan banyak persepektif tentang satu masalahnya yang sedang terjadi dan dapat mengambil pelajaran dari kasus tersebut.

Sepulang dari Berlin, kami tinggal menghitung hari di akademi untuk pulang ke negara kami masing-masing. Suasana sesama peserta berada diantara senang untuk kembali ke negaranya masing-masing disisilain bersedih harus berpisah dengan teman yang sudah seperti keluarga selama seminar berlangsung. Singkat cerita, tibalah hari terakhir kami berada di Akademi. Satu persatu peserta meninggalkan akademi dengan jam yang berbeda-beda. Tidak jarang setiap peserta meneteskan airmata untuk merayakan perpisahan. Mungkin dalam hatinya inilah pertemuan pertama dan bisa juga pertemuan terakhir. Begitulah kami merayakan perpisahan di hari terakhir.

Bersama dengan peserta seminar lainnya
Bersama dengan peserta seminar lainnya © FNF Indonesia
Sesi ekskursi seminar
Sesi ekskursi seminar © FNF Indonesia

Kata orang bijak, adakalanya dalam hidup kita hanya diberikan kesempatan bertemu teman dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. Meninggalkan kesan dihati kemudian ruang dan waktu menjadikannya kenangan yang bisa ditangisi dan bisa juga ditertawai untuk selamanya.  Begitulah yang ada dalam pikiran saya beberapa menit sebelum pesawat meninggalkan Bandara Koln, Jerman untuk kembali ke Indonesia.  Bermekaranlah kenangan seperti senja yang tidak mungkin ada di siang hari, bukan? Terima kasih FNS!

Farewell Dinner
Farewell Dinner © FNF Indonesia

*Artikel ini adalah tulisan dari delegasi IAF asal Indonesia, Ardinanda Sinulingga yang bekerja sebagai Member of Foreign  Relation Division of Democratic Party.