DE

Hak Asasi Manusia
Sepetik Ikhtiar Persaudaraan Kristen-Islam di GKJW Sukun

Workshop "Jurnalisme Keberagaman Menghidupkan Toleransi", Malang, 28 Juni - 1 Juli 2019
Kunjungan ke GKJW Sukun
Kunjungan ke GKJW Sukun © FNF Indonesia, SEJUK

“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”

Sebuah pertanyaan, muslim mana yang tidak mengenal baris hadits di atas?

Hadits yang biasanya naik pamor dan dijadikan penguat argumen manakala perdebatan menyoal tradisi ucapan selamat Natal dan tahun baru menyeruak di kalangan masyarakat Indonesia tiap penghujung tahun. Begitu pula bagi saya, hadits tersebut menjadi sangat familiar berkelindan dalam kehidupan sehari-hari sejak kecil hingga kini. Tentu saja beriringan dengan penggalan ayat surat Al-Kafiruun yang juga tak kalah populer, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.

Layaknya segala firman Allah yang selama ini umat muslim termasuk saya sendiri baca, pelajari dan amalkan, semuanya tentu saja berbahasa Arab dan tersedia terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Namun tafsiran ayat maupun hadits tentu saja bukan hal seremeh membuka bungkus permen kemudian menelan isinya begitu saja. Dibutuhkan ilmu dan pemahaman khusus yang tentu saja membutuhkan kajian yang bersinggungan dengan sudut pandang sosial dan budaya masyarakat kita yang heterogen.

Saya tak hendak mengkaji tafsir dua kalimat fenomenal di atas. Hanya saja, hal tersebut benar-benar mengepung pemikiran saya manakala pagi tadi (30/6) di hari Minggu saat Kota Malang sedang dingin-dinginnya. Saya dan beberapa kawan bertandang ke Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), sebuah rumah peribadatan bagi teman-teman Kristen yang terletak di Kecamatan Sukun.

Dinginnya udara pagi yang seolah menggigit kulit seketika berangsur menghangat begitu saya dan rombongan dari Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk) tiba di halaman gereja. Satu per satu menuruni angkot memasuki GKJW. Seorang jemaat, bapak paruh baya dengan pakaian rapih, tersenyum hangat menyalami kami satu per satu. Tanpa rasa canggung maupun rasa keterpaksaan. Seorang ibu bahkan menawarkan teh hangat pada saya dan beberapa kawan, lagi-lagi dengan tingkat keramahan yang tidak dibuat-buat

Matahari berangsur meninggi dan mulai tampak berkilauan di langit timur. Jarum jam mengarah pada pukul 7 tepat. Jemaat mulai memadat. Semua tampak taat dan khidmat. Setelah menerima lembaran tata ibadah, saya mencoba untuk membaur dalam barisan jemaat. Seorang perempuan muda sempat menawarkan lembaran tata ibadahnya karena sempat mengira saya tidak kebagian, ia menawarkan dengan ramah dan senyum yang hangat.

Kemudian saya pun mulai mengikuti proses kebaktian. Ketika jemaat berdiri saya turut berdiri, meyesuaikan dengan apa yang tertera pada tata ibadah. Saat itu pula terlintas beberapa hal, ragam pikiran yang konservatif dan fanatik tentang agama yang penuh dengan prasangka dan selama ini pernah bercokol dalam diri saya.

Ya, setidaknya sebelum saya mulai membaca banyak literasi, mengikuti diskusi, menjalin relasi dengan teman-teman Kristen. Ada sebuah pemikiran bahwa terlarang dan haram hukumnya untuk umat muslim pergi ke rumah ibadah umat agama lain. Apalagi mengikuti prosesi ibadahnya dan memakan sajian hidangannya. Benarkah pergi ke gereja, mengikuti rangkaian ibadah dan berinteraksi dengan umat agama lain akan serta merta membuat saya menjadi Kristen?

Setelah beberapa saat melakoni proses kebaktian, saya mencoba untuk berkeliling, melihat ke sekitar gereja. Mencari hal menarik yang bisa saya pelajari untuk dikemas menjadi tulisan. Barangkali juga beberapa jawaban atas kecamuk dalam batin saya.

Kunjungan ke GKJW Sukun
Kunjungan ke GKJW Sukun © FNF Indonesia, SEJUK

Harmoni dalam Persaudaraan Sejati

“Ayo tambah lagi nasinya!” “Itu lauknya sedikit sekali?” “Ayo ayo makan yang banyak ya, maaf ya seadanya saja …” Begitulah yang ibu-ibu penyambut tamu ucapkan berkali-kali dengan senyum sumringah saat memberi kami hidangan sarapan pagi di belakang gereja. Empat meja tertata rapi, beberapa gelas teh diletakkan di atasnya. Saya dan kedua rekan pun menikmatinya sembari berbincang dengan Pendeta Sinung Mawanto. Obrolan mengalir begitu saja diselingi dengan kelakar khas beliau. Dari beliau pula saya mendapatkan informasi tentang program Kelas Lintas Iman yang GKJW sering selenggarakan.

“Karena hidup dengan damai adalah keinginan semua orang, perdamaian antar umat beragama akan menjadikan kerajaan surga di dunia,” ucap Pendeta Sinung sembari menyesap kopi hitamnya.

Beliau mengatakan Kelas Lintas Iman ingin mencapai terciptanya persaudaraan sejati, sebuah hubungan yang tidak semata didasari oleh kepentingan, namun untuk mencapai sebuah tujuan. Satu tujuan yang sejalan, yaitu perdamaian. Beliau mengatakan bahwa GKJW Sukun juga memiliki relasi yang baik dengan Gusdurian Malang.

Pak Sinung beberapa kali juga menggunakan ponselnya untuk memotret suasana perjamuan di tengah obrolan kami. Kemudian menunjukkan hasil potretnya kepada saya.

“Entah saya saja atau gimana, tapi tiap melihat suasana seperti ini saya sangat senang dan nyaman. Mbak bagaimana?” tanyanya, pandangannya beliau edarkan menyapu setiap penjuru keramaian yang dipenuhi manusia.

Jemaat yang sedang menyantap hidangan dengan keluarga dan temannya, tamu yang tertawa dengan wajah gembira, pemuda yang melayani di bazar, remaja yang memberikan hiburan dengan permainan musik, hingga lalu-lalang anak kecil bermain dengan riang bersama. Tak bisa dipungkiri, nuansa yang bagi saya mirip lebaran dan biasa saya temukan saat pulang ke kampung halaman di bulan Syawal, ternyata dapat saya jumpai setiap akhir pekan di tempat yang tak jauh dari pusat kota tempat saya menimba ilmu sehari-hari.

Demi membuat para jemaat berkumpul untuk sekadar mengisi perut atau mengakrabkan diri dengan sesama warga gereja, pihak GKJW Sukun membuat program bazar dan menyediakan tempat duduk layaknya pujasera atau kantin bagi seluruh jemaatnya. Jemaat dapat mengambil jatah nasi putih yang disediakan gereja secara cuma-cuma, sementara lauk dan minum dapat dibeli di bazar yang dijalankan oleh ibu-ibu maupun pemuda gereja.

“Dari sini saja kita sudah mulai belajar kerukunan dengan saudara sesama, harmoni…”

Karena Kita Satu

Suara-suara nyanyian dan puji-pujian tak hanya terdengar dari ruang kebaktian utama gereja. Dari sisi atas dan belakang gedung juga terdengar lantunan penuh kegembiraan yang bersumber dari ruang kebaktian anak. Aktivitas ini biasa disebut dengan Sekolah Minggu. Anak-anak yang lucu begitu antusias menyanyikan puji-pujian bagi Tuhan Yesus.

Melihat keceriaan dan keaktifan anak-anak yang mengikuti peribadatan itu, tentu saja memantik rasa penasaran saya tentang apa saja yang gereja ajarkan pada mereka. Berdasarkan keterangan dari pamongnya yang berhasil saya dan rekan-rekan ajak berbincang, yakni Bu Ninik Kustiari dan Bu Istuning Rahayu, selain fokus untuk belajar kerohanian, mereka juga dididik dengan semangat toleransi pada keberagaman sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

“Jadi mereka sudah dididik untuk tidak memiliki rasa fanatisme, tidak eksklusif. Mereka sudah dibiasakan untuk saling menghargai dan menghormati sesama apapun agamanya,” jelas Bu Istuning.

Untuk itu, pengajaran yang diberikan pada Sekolah Minggu tentang toleransi pada keberagaman telah diberikan sejak dini.

“Karena pada seusia mereka, mereka sudah bisa menerima hal-hal dari luar. Mereka harus diperkenalkan pada kehidupan yang sebenarnya, tidak melulu tentang kekristenan saja,” tambahnya.

Bu Ninik pun menyambung tuturan sekretarisnya itu dengan kisah pengalamannya dalam acara kolaboratif antara GKJW dan Pondok Pesantren Ngalah Pasuruan. Yaitu ‘Camp Remaja Lintas Iman’: Amazing Youth pada 21-23 Juni tahun lalu. Kegiatan tersebut difokuskan untuk para pemuda gereja agar mereka dapat mengenal lebih dekat kawan-kawan sesama penerus bangsa secara langsung. Camp remaja itu menjadi upaya persatuan yang dipercaya dapat mematahkan isu sensitif terkait perbedaan agama dan ras di kalangan pemuda.

Di camp yang diadakan tiga hari tersebut, banyak kegiatan yang dilakukan remaja Islam dan Kristen untuk memupuk persatuan, di antaranya doa kebangsaan, tanam pohon, fun games, ibadah hingga parade. Peserta sebanyak 70 pemuda Islam dan Kristen tentu saja berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

“Dari keberagaman itulah, anak-anak harus tahu bahwa sebenarnya kita semua adalah satu,” ungkap Bu Ninik.

Kunjungan ke GKJW Sukun
Kunjungan ke GKJW Sukun © FNF Indonesia, SEJUK

Orang Kepercayaan Gereja

“Kenapa nih Pak, gak coba cari kerjaan lain aja gitu mungkin yang bukan di gereja?” tanya salah seorang teman saya, mencoba untuk memulai percakapan dengan Bapak Musa’i, yang berdasarkan cerita Pendeta Sinung dan Bu Ninik, adalah seorang muslim yang setia mengabdikan diri sebagai pekerja GKJW Sukun.

Pria tersebut telah bekerja untuk gereja sejak 2002, saat gereja masih dalam tahap pembangunan awal. Mulanya, Musa’i adalah seorang kuli bangunan dan karena kesetiaannya pada gereja maka beliau diberi mandat untuk bekerja di sana. Bahkan beliau memboyong serta beberapa keluarganya untuk menempati rumah di sisi bangunan gereja yang telah disediakan khusus untuknya.

“Kerja di sini sudah paling enak, mbak. Di tempat lain susah, apalagi saya dulu rantau pindah-pindah,” demikian alasan pertama pria paruh baya yang akrab disapa Pak Sa’i itu ungkapkan kepada saya dan teman-teman.

Alasan berikutnya yang membuatnya betah mengabdi pada GKJW adalah perlakuan yang warga dan pengurus gereja berikan kepadanya dan keluarga sangatlah baik. Hubungan antara orang dalam gereja dan keluarganya terjaga dengan harmonis.

“Tiap lebaran ya mereka berkunjung, datang semua,” ungkapnya.

Siapa bilang dengan datang ke gereja, makan hidangannya, menyaksikan peribadatannya ataupun bergaul dengan warganya dapat membuat kita seketika berpindah agama? Tidak.

Dan hal itu telah dibuktikan oleh Bapak Sa’i, saat ditanya apakah tidak ada keinginan untuk berpindah agama? Dengan tegas ia mengatakan bahwa ini masalah keyakinan. Sejak masih kecil ia adalah muslim dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Beliau akan selalu teguh pada keimanannya.

“Masalah pekerjaan ya pekerjaan saja, agama lain urusannya,” tegasnya yakin.

Dikarenakan terburu-buru untuk pergi, maka obrolan saya dan Pak Sa’i hanya sebentar saja. Padahal masih ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan.

“Datang lagi saja lain kali ya mbak, mampir saja jangan sungkan,” ujarnya dengan senyuman.

Pulanglah dengan Sukacita

Dengan begitu, berakhir sudah kunjungan kami di GKJW Sukun yang ditutup dengan foto bersama pendeta dan warga gereja. Kami bersalam-salaman, berpamitan dan saling mengucapkan terima kasih. Waktu rasanya berjalan begitu cepat, sehingga kesedihan karena berpisah kian merambat hebat.

Sembari menunggu angkot melaju kembali ke Hotel 1O1, tempat kami menginap selama 4 hari, saya membuka dan membaca ulang lembaran tata ibadah.

“Pulanglah ke rumahmu masing-masing dengan sukacita. Bekerjalah dengan setia dan sungguh-sungguh. Ingatlah bahwa Tuhan tidak pernah tanpa air mata. Tetapi Tuhan selalu menjanjikan kekuatan dan kemampuan hari demi hari. Percayalah, bahwa Tuhan selalu menyertai dan memberkati hidupmu sekalian.”

Berkunjung ke gereja tak serta merta membuat saya murtad dari agama saya. Namun ada pelajaran mengenai perbedaan yang membutuhkan pemaknaan. Hanya satu pemaknaan namun tak semua orang dapat terapkan; sebuah rasa toleransi pada keberagaman.

Karena apabila benar bagimu agamamu dan bagiku agamaku, tidak dengan bagimu hidupmu dan bagiku hidupku. Bukankah itu hanya akan memupuk rasa ketidakpedulian yang memicu perpecahan dan penggolongan?

Mari sudahi polarisasi. Dalam jalan penuh perdamaian, semua golongan dapat bergandengan tangan. Terlepas dari perbedaan agama yang dianut, setidaknya satu yang membuat kita serupa: manusia dan Indonesia. []

*Rizka Ayu Kartini adalah anggota Pers Mahasiswa Siar Universitas Negeri Malang. Ia adalah peserta workshop pers mahasiswa yang diadakan oleh SEJUK kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF), Kementerian Hukum dan HAM RI, Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan LPM Basic Universitas Brawijaya pada 28 Juni – 1 Juli 2019 di Malang