International Academy for Leadership
Dari Perdebatan Big Tech hingga Kecerdasan Artifisial di Gummersbach
Selama lebih kurang dua minggu, dari 2-14 Juni 2024, saya berkesempatan untuk mengikuti kegiatan International Academy for Leadership: Safeguarding Freedom in the Digital World yang diselenggarakan oleh Friedrich Naumann Foundation (FNF). Kesempatan ini diberikan oleh organisasi tempat saya bergiat, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang bekerja sama dengan FNF Indonesia.
Akademi dihadiri oleh kurang lebih 23 peserta yang berasal dari 21 negara dengan dipandu oleh Sven Gerst dan Hussam Erhayel. Theodor-Heuss-Akademie di Gummersbach–sebuah kota kecil di Jerman, lebih kurang 40 menit dari Kota Cologne–menjadi lokasi pembelajaran kami semua. Selama belajar di sana, kami diajak dan dilatih untuk membahas isu-isu berkembang (emerging issues) dari kacamata liberalisme. Ada banyak isu yang dibahas, mulai dari perdebatan seputar big tech, kecerdasan artifisial, mata uang kripto, e-governance, keamanan digital, hingga geopolitik.
Selama lebih kurang dua tahun bergiat di SAFEnet, saya sudah mengenal dan mempelajari sebagian dari isu-isu di atas. Namun, beberapa isu lainnya seperti kecerdasan artifisial, mata uang kripto, dan e-governance merupakan isu-isu yang masih sangat baru bagi saya. Beruntungnya, FNF mengundang pembicara-pembicara berpengalaman yang memiliki kapasitas di masing-masing isu.
Mempelajari E-Estonia
Pada sesi seputar e-governance, pelaksana kegiatan menghadirkan Kristo Enn Vega, seorang anggota parlemen dari Partai Liberal di Estonia. Kristo mengawali presentasinya dengan mendemonstrasikan bagaimana orang Estonia bisa berpartisipasi dalam pemilihan. Ia berpartisipasi dalam pemilihan secara elektronik di hadapan kami, karena hari itu bertepatan dengan pelaksanaan Pemilu Eropa. Tidak sampai 5 menit, suaranya sudah masuk.
Kemudahan ini membuat angka partisipasi pemilu di Estonia menjadi sangat tinggi. Kristo mengatakan bahwa hal-hal yang penting dilakukan dalam digitalisasi adalah digital-minded leadership, people centric, kerja sama pemerintah-swasta, jaminan akses internet bagi semua, kepemilikan data pribadi bagi individu, serta prinsip yang jelas dan jujur.
Setelah itu, Kristo juga menceritakan sejarah dan proses digitalisasi di Estonia. Ia menjelaskan, bagaimana era digitalisasi sudah dipersiapkan sejak 1990-an, dimulai pada 2000an (era digitalisasi), dikembangkan pada 2010an (era transformasi digital), hingga saat ini memasuki era pasca digital. Hal ini membawa banyak kemudahan bagi masyarakat seperti kartu identitas digital, deklarasi pajak online, pemanfaatan kecerdasan artifisial untuk layanan pemerintah, hingga yang terakhir, mengizinkan pernikahan secara digital (e-Marriage).
Namun, Kristo juga menjelaskan bagaimana proyek-proyek digitalisasi ini disertai dengan perhatian khusus terhadap keamanan digital. Ini terlihat dari perlindungan data pribadi yang dijamin negara, dan keberadaan Data Embassy di Luxemburg untuk memastikan keamanan infrastruktur fisik negara.
Materi ini merupakan hal baru yang sangat menarik bagi saya. Perjalanan digitalisasi yang disampaikan oleh Kristo mengingatkan saya akan agenda pemerintah Indonesia, yang belakangan juga mewacanakan transformasi digital. Dalam debat capres-cawapres 2024, seluruh kandidat bahkan bersepakat bahwa digitalisasi penting untuk mendukung pembangunan dan agenda-agenda lainnya. Pemerintah Indonesia juga gencar menggalakan pelatihan dan sosialisasi literasi digital di Indonesia melalui program Siberkreasi.
Membandingkan Estonia dengan Indonesia tentu tidak apple to apple, baik secara demografis, geografis, maupun historis. Namun, ada beberapa pelajaran yang menurut saya bisa dipetik dari pengalaman Estonia.
Pertama, pelatihan literasi digital juga harus disertai dengan pendidikan hak-hak digital, agar warga tidak hanya paham cara menggunakan, tetapi juga mengetahui hak-hak mereka seperti hak atas privasi dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Kedua, pemimpin yang digital-minded merupakan kunci, bukan semata jargon atau bahan kampanye politik. Ketiga, digitalisasi harus disertai dengan pertahanan dan keamanan siber yang kuat, termasuk negara harus mampu mengantisipasi kemungkinan peperangan siber ke depannya yang dapat melumpuhkan layanan pemerintahan. Terakhir, negara perlu menjamin akses internet bagi semua orang, termasuk mengakuinya sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Kripto sebagai Alternatif Pendanaan?
Materi lainnya yang juga merupakan hal baru bagi saya adalah materi seputar mata uang kripto. FNF mengundang aktivis organisasi masyarakat sipil (OMS) Anti-Corruption Foundation (ACF) yang sudah mempraktikkan penggunaan bitcoin sebagai medium crowdfunding. Ia menceritakan pengalaman organisasinya mengalami pembekuan aset oleh pemerintahan otoriter Vladimir Putin.
Setelah organisasinya dibubarkan dengan alasan terorisme, jurnalis Novaya Gazeta, Andrey Zayakin, ditahan karena diketahui menyumbang $16 kepada ACF dengan alasan mendukung ekstremisme. Dari sanalah, ACF menyediakan opsi pembayaran melalui kripto di situs webnya. Kini, mereka merekomendasikan kepada orang yang hendak berdonasi untuk menggunakan fitur “one-time bitcoin address” demi alasan keamanan.
Ide ini sangat menarik, terutama di saat iklim keamanan bagi aktivisme dan OMS semakin menyusut di Indonesia. Misalnya, beberapa kali, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengeluarkan pernyataan di media yang mengancam akan melakukan audit ke OMS-OMS. Luhut juga mem-framing OMS yang sering mengkritisi kebijakan negara sebagai antek asing.
Terlebih lagi pada pemerintahan berikutnya Prabowo Subianto yang memiliki potensi untuk menjadi lebih otoriter. Ancaman kepada aktivis dan OMS di Indonesia kian besar. Sebagai mitigasi “serangan-serangan” terhadap aspek finansial pejuang HAM dan demokrasi, aktivis dan OMS di Indonesia perlu belajar dari pengalaman ACF dan mungkin organisasi lain yang telah lebih dulu menggunakan kripto sebagai alternatif medium crowdfunding.
Meskipun demikian, efisiensi penggunaan mata uang kripto juga masih perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan seperti potongan terhadap pemindahan dana yang relatif besar, tren penyusutan nilai kripto selama beberapa waktu ke belakang, hingga hambatan regulasi yang ada di Indonesia.
Untung-Rugi Kecerdasan Artifisial
Selain materi-materi baru di atas, beberapa materi yang aku lebih familiar juga disampaikan dengan cara yang agak unik. Dua orang fasilitator, Sven dan Hussam, merepresentasikan perpecahan kelompok liberal dalam melihat isu-isu seperti raksasa teknologi dan kecerdasan artifisial. Sven mewakili kelompok positivis (progress), sementara Hussam mewakili kelompok kritis (doomers). Ini juga mengingatkan kami pada perdebatan berujung taruhan antara Paul Ehrlirch (skeptis) dan Julian Simon (optimis).
Sven dan Hussam saling berdebat, dan mencela satu sama lain di hadapan kami, sehingga kami dapat lebih memahami kedua perspektif. Dalam melihat perkembangan kecerdasan artifisial, Sven melihat ini sebagai perkembangan teknologi yang akan mempermudah banyak kerja-kerja manusia ke depannya.
Walaupun sadar bahwa ekses-ekses mungkin terjadi, seperti gap teknologi hingga meningkatnya angka pengangguran, namun teknologi–dalam hal ini kecerdasan artifisial–jugalah yang akan menciptakan obat untuk masalah itu. Lewat inovasi dan kemajuan teknologi, lapangan pekerjaan baru juga akan dibuka. Jadi, kecerdasan buatan tidak menghilangkan pekerjaan, tetapi mengembangkannya.
Sebaliknya, Hussam melihat bahwa ada banyak risiko bahwa perkembangan kecerdasan artifisial yang tidak diregulasi dapat mengancam demokrasi dan hak asasi manusia. Ini termasuk amplifikasi penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian, polarisasi, kebergantungan, pengawasan negara, hingga kemungkinan digunakan untuk menjadi robot perang.
Menurut perspektif Hussam, kecerdasan artifisial memang tidak terhindarkan, tetapi negara tetap harus hadir dengan regulasi, agar ekses-ekses tadi tidak terjadi. Ia juga menekankan akan sangat mengerikan apabila kehidupan kita sepenuhnya bergantung dan dikendalikan oleh layanan segelintir korporasi raksasa teknologi.
Saya cenderung sepakat dengan argumen-argumen yang dilontarkan Hussam, walaupun argumen-argumen Sven juga cukup meyakinkan. Barangkali saya bias karena latar belakang saya sebagai pegiat hak-hak digital. Meskipun demikian, laporan Freedom on the Net 2023: The Repressive Power of Artificial Intelligence, hemat saya dapat menggambarkan secara objektif bagaimana ancaman itu nyata.
Kecerdasan buatan sangat rentan disalahgunakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik maupun ekonomi untuk melanggengkan penindasan. Berbagai pemerintahan otoriter telah menggunakan kecerdasan artifisial untuk mengawasi gerak gerik seluruh populasinya. Beberapa lainnya menggunakan teknologi itu untuk memproduksi state-sponsored disinformation dan propaganda-propaganda menyesatkan lainnya.
Secara ekonomi, korporasi-korporasi yang menguasai big data juga berpotensi meraup untung besar-besaran, sementara data pengguna terus dieksploitasi. Hari ini, data pengguna maupun perilaku hanya dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa teknologi. Padahal, data merupakan elemen krusial untuk melatih kecerdasan buatan. Maka, saya setuju kekhawatiran bahwa ketimpangan sosial dan konsentrasi kekayaan akan semakin parah.
Kekhawatiran bahwa demokrasi dan hak asasi manusia akan terancam dengan kecerdasan artifisial juga masuk akal menurut saya. Karena data-data tadi dikuasai oleh raksasa-raksasa digital yang dibangun dan bermarkas di Amerika Serikat, potensi bias dan diskriminasi berbasis algoritma akan sangat mungkin muncul. Belum lagi potensi bahayanya bagi pemilu elektoral seperti deepfake untuk memberangus politisi dan penggunaannya untuk “memoles” citra sosok otoriter menjadi demokratis.
Dengan demikian, saya sangat sepakat dengan pendapat Hussam dan kelompok kritis bahwa teknologi ini tidak boleh dilarang, melainkan diregulasi agar tidak membahayakan dan mengancam hak asasi manusia. Berikutnya, saya merefleksikan diskusi-diskusi yang sedang berlangsung dengan perkembangan regulasi di negara saya.
Saat ini, pemerintah sudah memiliki Strategi Nasional untuk Kecerdasan Artifisial 2020-2045. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah memiliki Surat Edaran Etika Kecerdasan Artifisial. Inisiatif ini cukup baik, mengingat masih banyak negara yang belum memiliki aturan soal kecerdasan artifisial.
Namun, yang perlu menjadi catatan, jangan sampai ambisi memanfaatkan kecerdasan artifisial menciderai hak asasi manusia. Dalam draf Revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri), misalnya, polisi memiliki kewenangan untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kota cerdas (smart city) yang biasanya ditandai dengan pemanfaatan kecerdasan artifisial. Jangan sampai justru wewenang ini dimanfaatkan negara untuk melanggar hak warga negaranya seperti dengan melakukan pengawasan massal.
Begitupun aspek hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jangan sampai penggunaan kecerdasan artifisial justru memperparah ketimpangan sosial. Kemajuan teknologi tidak senantiasa sejalan dengan pengentasan kemiskinan dan pemajuan kesetaraan. Ini bisa kita lihat dari “musim semi” perusahaan rintisan (start-up) di Indonesia. Perusahaan ride hailing misalnya. Kendati membuka lapangan kerja bagi banyak orang, namun terdapat ketimpangan yang berarti antara para pekerja di level manajemen dengan para driver di lapangan. Apalagi, driver bekerja tanpa jaminan yang jelas.
Membayangkan Pengaturan Big Techs di Masa Depan
Di antara semua sesi, sesi favorit saya adalah pembahasan seputar raksasa digital (big techs). Istilah ini mengacu pada perusahaan-perusahaan teknologi raksasa yang mayoritas berasal dari Amerika Serikat, yaitu GAMAM (Google, Amazon, Meta, Apple, dan Microsoft). Belakangan, muncul pula istilah Magnificent Seven yang terdiri atas Alphabet, Amazon, Apple, Meta, Microsoft, Nvidia, dan Tesla. Beberapa raksasa teknologi dari Tiongkok juga dianggap masuk dalam istilah ini seperti Baidu, Alibaba, Tencent, dan Xiaomi.
Topik ini juga yang saya–bersama dua orang kawan dari Taiwan dan Myanmar–pilih sebagai tugas akhir di akademi ini. Pada tugas ini, kami diminta untuk memproduksi rekomendasi kebijakan kepada pemerintah terkait isu-isu teknologi yang sedang berkembang. Untuk itu, kami merangkum perdebatan-perdebatan yang terjadi selama sesi seminar.
Beberapa dilema yang dihadapi dalam pengaturan raksasa digital adalah layanan gratis versus dampak terhadap hak asasi manusia dalam ekonomi pengawasan, pengaruh politik raksasa teknologi, privasi versus keamanan dalam manajemen data, serta demokratisasi informasi versus penggerusan pendapatan bagi outlet media.
Pertama, model bisnis platform digital bergantung pada seberapa banyak data pengguna dan data perilaku yang mereka kumpulkan dari individu. Data-data yang dikumpulkan kemudian dijual kepada agregator iklan untuk dijadikan sebagai iklan mikrotarget (microtargeting advertisement).
Pada satu sisi, pengumpulan data ini memiliki dampak yang baik karena pengguna dapat menikmati layanan secara cuma-cuma, menghasilkan algoritma yang mampu merekomendasikan konten bagi pengguna sehingga tidak terjebak dalam belantara digital, serta dapat mengurangi iklan yang tidak diinginkan.
Namun, di sisi lain, terdapat konsekuensi negatif dari model bisnis ini yang pada intinya dapat melanggar hak atas privasi. Praktik pengawasan yang dilakukan oleh raksasa digital dilakukan tanpa memperhatikan pemahaman pengguna mengenai data apa saja yang dikumpulkan dan untuk apa itu digunakan.
Sebagai contoh, tidak semua pengguna memahami bahwa setiap tindakan yang mereka lakukan di media sosial, baik mengunggah status, berkomentar, menyukai, menyimpan, mencari, dan lain-lain direkam dan diawasi oleh perusahaan media sosial untuk membangun algoritma canggihnya.
Algoritma yang dibangun atas ketidakpahaman pengguna ini juga menimbulkan masalah lainnya, yaitu manipulasi perilaku dan fragmentasi sosial. Dengan menganalisis data perilaku dan data pengguna, raksasa teknologi dapat memprediksi dan mempengaruhi tindakan seseorang. Misalnya, dengan mengarahkan seseorang untuk pergi ke restoran tertentu, atau bahkan pilihan politik tertentu.
Algoritma yang membentuk ruang gema (echo chamber) ini juga membuat pengguna hanya menerima informasi dari lingkarannya saja secara tidak berimbang. Ini sering berujung pada fragmentasi, polarisasi, hingga kekerasan fisik. Contohnya bisa dilihat dari genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar.
Dilema berikutnya adalah kontribusi filantropi yang diberikan oleh raksasa teknologi, namun di sisi lain justru memberikan mereka kekuasaan untuk mempengaruhi situasi politik di sebuah negara. Mereka menghabiskan dana besar untuk mendukung partai dan kandidat politik, untuk memastikan para pembuat kebijakan mengamankan kepentingan mereka.
Misalnya, laporan dari The Center for Responsive Politics menunjukkan bahwa Meta dan Amazon merupakan perusahaan yang paling banyak menghabiskan dana untuk mempengaruhi dan melobi pemilihan presiden dan kebijakan publik di Amerika Serikat. Laporan lain dari OpenSecrets menunjukkan kontribusi politik Meta sebesar lebih dari $334 juta pada 2022, di mana 53,8% mengalir ke Partai Republik, dan 46,4% ke Partai Demokrat.
Di satu sisi, tentu siapapun memiliki kebebasan berekspresi dan berpolitik, mengingat dalam demokrasi liberal kekuasaan berada di tangan rakyat, yang mendelegasikan kekuasaannya kepada perwakilannya di eksekutif maupun legislatif. Namun di sisi lain, raksasa-raksasa teknologi ini memiliki aset yang sangat besar, sehingga mereka dapat mempengaruhi politisi untuk memberlakukan peraturan yang menguntungkan mereka. Padahal, pembuat kebijakan berkewajiban untuk melindungi hak-hak publik, termasuk dengan memastikan raksasa teknologi bertanggung jawab atas pengumpulan data pengguna.
Berikutnya, kami juga memperhatikan manajemen data yang dikuasai oleh raksasa teknologi, terutama irisannya dengan kepentingan pemerintah. Besarnya jumlah data yang dimiliki oleh raksasa teknologi menjadikannya sasaran empuk untuk diminta pemerintah. Apalagi, ketika pemerintah memiliki agenda memperkuat keamanan nasional.
Pada satu sisi, raksasa teknologi dapat membantu pemerintah untuk menjamin keamanan bagi publik dengan membagikan data yang mereka miliki. Data ini dapat digunakan untuk mendeteksi dan memitigasi ancaman seperti terorisme, kekerasan, genosida, dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Kolaborasi antara raksasa teknologi dan pemerintah dapat menghasilkan kebijakan yang lebih efektif untuk mengatasi ancaman-ancaman itu.
Namun, di sisi lain, data-sharing seperti ini justru rawan berujung pada kolusi antara raksasa teknologi dan pemerintah otoriter. Data yang diberikan dapat mendukung agenda-agenda pemerintah otoriter, seperti melakukan pengawasan dan meredam suara-suara kritis. Hal semacam ini terjadi setidaknya di Tiongkok dan Rusia, yang kebanyakan menargetkan aktivis dan oposisi politik.
Raksasa teknologi dapat memprediksi dan mempengaruhi tindakan seseorang. Misalnya, dengan mengarahkan seseorang untuk pergi ke restoran tertentu, atau bahkan pilihan politik tertentu.
Algoritma yang membentuk ruang gema (echo chamber) ini juga membuat pengguna hanya menerima informasi dari lingkarannya saja secara tidak berimbang. Ini sering berujung pada fragmentasi, polarisasi, hingga kekerasan fisik. Contohnya bisa dilihat dari genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar.
Terakhir, kami menyoroti dampak beroperasinya raksasa media sosial terhadap media tradisional. Ini menjadi materi yang sangat menarik karena sempat dibawakan oleh Martin Andree, penulis buku Big Tech Must Go! Dalam salah satu sesi seminar. Pada sesi tersebut, Martin banyak mengkritisi dampak-dampak beroperasinya raksasa teknologi terhadap media tradisional dan integritas informasi yang beredar di publik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah memfasilitasi pemajuan kebebasan berekspresi yang luar biasa, dengan menyediakan ruang bagi individu untuk secara bebas membagikan informasi dan gagasan secara global. Ini mendobrak hambatan yang sebelumnya ada, yaitu media-media tradisional yang memiliki kemampuan untuk menentukan informasi apa saja yang layak dikonsumsi oleh publik.
Kelompok-kelompok yang selama ini tertindas dan tidak mendapatkan perhatian, kini mempunyai alat yang setara dengan kelompok mayoritas yang dominan dalam mengamplifikasi agenda yang mereka miliki. Kemajuan ini juga bermanfaat untuk memperluas gerakan sosial. Jurnalisme warga juga tumbuh subur. Di sisi lain, warga bisa memperoleh informasi dengan sangat cepat bahkan nyaris real time.
Namun, di sisi lain, segala kemajuan ini juga berdampak pada industri media tradisional, yang selama ini berperan sebagai pilar keempat demokrasi. Bukan peralihan monopoli informasi dari media tradisional ke raksasa teknologi yang menjadi soal, melainkan ketimpangan keuntungan dalam bisnis informasi.
Perusahaan-perusahaan media tradisional tetap harus mengeluarkan biaya besar untuk memproduksi berita yang berkualitas, entah itu untuk membayar jurnalis, pemasaran, maupun ongkos produksi lainnya. Namun, agar beritanya dapat memperoleh profit, perusahaan media tradisional sangat bergantung pada raksasa teknologi seperti Google dan Meta yang memonopoli industri periklanan digital. Masalahnya, sebagian besar dari keuntungan yang diperoleh justru dirasakan oleh raksasa teknologi.
Ketimpangan ini bisa terlihat pada tahun 2022. Di tahun itu, Facebook menghasilkan $116.6 miliar dan Google $282.8 miliar yang sebagian besar berasal dari iklan. Sebaliknya, di tahun yang sama, secara agregat, koran-koran serta televisi-televisi lokal di Amerika Serikat terus mengalami penurunan pendapatan, dan hanya memperoleh $14 miliar. Hal ini dikarenakan para pengiklan terus bermigrasi ke periklanan digital.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan itu, kami melihat ada beberapa peluang yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pertama, membentuk lembaga negara independent sebagai manifestasi praktik ko-regulasi dengan fungsi kuasi-legislatif (membuat standar-standar moderasi konten) dan kuasi-yudisial (menyelesaikan sengketa antara pengguna dan raksasa teknologi) dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Kedua, menerapkan hukum atau peraturan yang dapat mencegah terjadinya praktik monopoli bagi raksasa teknologi, memastikan pembagian penghasilan yang adil antara raksasa teknologi dengan perusahaan media tradisional, mewajibkan pelabelan bagi iklan politik di ruang digital dan ambang batas maksimalnya, mendorong raksasa teknologi untuk membuat dan mempublikasikan human rights impact assessment, serta menerapkan undang-undang perlindungan data yang komprehensif.
Ketiga, menerapkan strategi krisis pada saat-saat krisis, area terdampak konflik, dan negara-negara non-demokratis untuk memastikan akuntabilitas platform. Keempat, mendorong raksasa teknologi untuk memberikan pilihan yang bebas, komprehensif dan mudah dipahami kepada para pengguna apakah mereka bersedia data pengguna dan perilakunya dikumpulkan ketika menggunakan platform. Serta terakhir, meluncurkan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran soal pentingnya privasi dan bagaimana melindungi data pribadi mereka.
Tentu, gagasan-gagasan ini harus kembali disesuaikan dengan konteks negara masing-masing. Namun, hemat saya, seluruh rekomendasi ini sangat relevan dengan keadaan dan kebutuhan Indonesia saat ini. Misal, wewenang moderasi konten di Indonesia saat ini terkonsentrasi pada pemerintah dan raksasa teknologi tanpa melibatkan warga. Gagasan pembentukan lembaga independen baru yang berisi berbagai pemangku kepentingan menjadi sangat relevan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah memfasilitasi pemajuan kebebasan berekspresi yang luar biasa.
Kelompok-kelompok yang selama ini tertindas dan tidak mendapatkan perhatian, kini mempunyai alat yang setara dengan kelompok mayoritas yang dominan dalam mengamplifikasi agenda yang mereka miliki .... Jurnalisme warga juga tumbuh subur.
Penutup
Bagi saya, kesempatan untuk belajar di Gummersbach adalah pengalaman langka yang mungkin hanya bisa saya rasakan sekali seumur hidup. Tidak hanya lingkungan yang asri, kawan-kawan baru yang menyenangkan, dan fasilitator hebat yang saya temui. Saya juga mendapatkan banyak pandangan-pandangan baru, terutama bagaimana melihat isu-isu berkembang di ranah digital ini dalam kacamata liberalisme.
Satu hal yang saya simpulkan dari segala perdebatan yang terjadi selama seminar: Perdebatan dan perbedaan pandangan ini merupakan inti dari liberalisme. Liberalisme tidak menghendaki satu pemahaman tunggal yang otoritatif. Ia mensponsori perdebatan dan pertukaran pendapat sekeras apapun, selama tidak menggunakan kekuatan fisik.
Ini juga tercermin dalam lebih kurang dua minggu seminar di IAF. Berbagai perdebatan panas terjadi antara kelompok progress yang optimis dan kelompok doomers yang kritis. Namun, itu tidak mengurangi semangat persaudaraan yang sudah kami bangun di Gummersbach. Kami memang jauh secara geografis, tapi di dalam hati, kami meyakini nilai-nilai yang sama, yaitu kebebasan.
Editor: Dhea Ramadhani (Program Assistant & Communications Officer)