DE

Smart City
Dialog Media Jerman - Indonesia 2016

"Masa Depan Perkotaan. Bagaimana Media Kontribusi?"
with His Excellency Mr. Michael Freiherr von Ungern-Stenberg
© FNF Indonesia

Jakarta, 6 - 9 November 2016 – Kedutaan Besar Republik Federal Jerman untuk Indonesia dan Yayasan Friedrich Naumann Indonesia baru saja menjadi penyelenggara Dialog Media Jerman Indonesia 2016 bertemakan “Masa Depan Perkotaan- Bagaimana Media Berkontribusi?”.
Dialog media ini mengundang perwakilan media-media di Jerman dan Indonesia, seperti  Majalah Capital, TAZ, Tagesspiegel, Wirtschaftwoche, Wirtschaftsmagazin Euro, Handelsblatt, Kompas Daily, Jakarta Post, Media Indonesia, Jakarta Globe, Republika, Fajar- Makassar, Pikiran Rakyat- Bandung, Analisa- Medan, Rappler, Jakarta Now! SEJUK dan PWI. 
 

Group Photo with German Embassy representatives
© FNF Indonesia

Mengusung tema masa depan perkotaan, dialog ini bertujuan untuk memaksimalkan peran media dalam mengangkat isu yang dihadapi perkotaan di Indonesia maupun di Jerman demi  meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi merencanakan pembangunan kota. "Media punya peran yang sangat penting untuk menjadikan kota-kota menjadi lebih baik di masa depan," penuturan Moritz Kleine-Brockhoff, kepala yayasan Friedrich Naumann Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, bahwa kota-kota khususnya di Indonesia masih menghadapi masalah pemerataan pembangunan, kemacetan, pengelolahan tata ruang yang belum baik, perubahan iklim dan sampah. Dengan menghadirkan para ahli terkait dari BAPPEDA DKI Jakarta, Akademisi, Media Indonesia dan Media Jerman dialog ini berlangsung sangat hidup dan konstruktif. Para jurnalis Jerman juga banyak mengutarakan pendapat terkait masalah yang dihadapi kota besar seperti Jakarta. Kasus penggusuran yang banyak terjadi di Jakarta, juga pernah terjadi di Jerman. Setelah penggabungan Jerman Barat dan Jerman Timur, pemerintah Jerman sempat membangun apartemen terjangkau di Berlin. Namun, ulah pemerintah korup yang menjual apartemen tersebut ke pihak swasta membuat warga dengan pendapatan rendah terusir dari tempat tinggal itu, Sven Hansen, editor media TAZ berbagi ketika dialog tengah berlangsung.  

Presentation by BAPPEDA
© FNF Indonesia

Di sesi berbeda, Franz Magnis-Suseno, direktur Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara memaparkan bahwa sebenarnya selama berpuluh tahun Ibu Kota Jakarta masih menghadapi masalah yang sama salah satunya penggusuran. Dia memberikan contoh, pada 1961 terjadi kebakaran di perkampungan di Kebon Sirih. Kebakaran itu tak lain untuk menggusur warga supaya pemerintah dapat membangun jalan raya dan Tugu Tani yang kini berdiri.

Penggusuran dengan cara tidak humanis pun masih berlangsung hingga saat ini, yang teranyar adalah penggusuran Kampung Akuarium di Penjaringan, Jakarta Utara. Para jurnalis berkesempatan untuk bertatap muka dengan para warga Kampung Akuarium yang masih bertahan di tenda-tenda darurat selama 7 bulan setelah penggusuran. Salah satu narasumber (Yani, 40) memberikan keterangan bahwa mereka hanya diberikan waktu 11 hari sebelum penggusuran. “Beberapa warga mendatangi kecamatan untuk memohon perpanjangan hingga setelah lebaran, tapi ternyata sehari setelah mendatangi kecamatan justru keluar surat peringatan kedua kepada kami” Yani menambahkan.

Visit of North Jakarta
© FNF Indonesia

Kisah berbeda terjadi di Kampung Anak Kali Ciliwung, rumah-rumah sederhana bertingkat terjejer rapi disepanjang pinggiran sungai. “Dulu rumah-rumah di kedua sisi sungai hampir berdekatan, setelah ada pengumuman penggusuran kami memundurkan rumah kami sejauh 5 meter dari bibir kali. Sebelumnya PEMDA menginstruksikan pemunduran sejauh 15 Meter, itu berarti kami digusur dengan cara halus” ujar Guguntoro.  Guguntoro berpendapat bahwa kekumuhan yang pernah terjadi di pemukiman ini akhirnya bisa diatasi dengan usaha kolektif para warga. Para warga membongkar sendiri rumah mereka dan membangun rumah secara horizontal karena luas tanah yang sangat kecil. Selain itu warga secara berangsur-angsur mengubah kebiasaan membuang sampah ke kali ke tempat sampah yang sudah disediakan. Bahkan, para ibu-ibu membuat pupuk organik dari sisa makanan rumah tangga. Kini aliran air di sungai anak kali ciliwung tanpa hambatan dan tanpa sampah.  

Kampung Anak Kali Ciliwung
Kampung Anak Kali Ciliwung Saat Ini © FNF Indonesia
Kampung Anak Kali Ciliwung
Kampung Anak Kali Ciliwung dahulu © FNF Indonesia