DE

Demokrasi
Diskusi Publik “Cool Politics: Partai Politik Modern untuk Generasi Millenial”

Restoran Aroma Sedap, 13 Oktober 2016
diskusi publik "Cool Politics: Partai Politik Modern untuk Generasi Milenial"
© FNF Indonesia

Dewasa ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa generasi muda, khususnya generasi millenial cenderung bersikap apatis dalam dunia politik aktif. Partai politik telah kehilangan daya tarik dan kepercayaan dari generasi muda. Tidak hanya itu, mereka pun mengidentikkan para politisi dengan para koruptor yang haus uang dan kekuasaan. Untuk mengubah persepsi yang berkembang ini, diperlukan pemahaman baik dari kaum muda maupun partai politik. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Oktober 2016, Friedrich Naumann Stiftung bekerjasama dengan Partai Demokrat menggelar sebuah diskusi publik bertajuk “Cool Politics: Partai Politik Modern untuk Generasi Millenial” di Restoran Aroma Sedap, Menteng, Jakarta Pusat. Diskusi yang dihadiri oleh narasumber Dede Yusuf Effendy, Hilmi Rahman dan Jerry Indrawan ini secara umum membahas bagaimana kaum muda dapat berperan aktif dalam dunia politik. Dengan dipandu oleh M. Husni Thamrin sebagai moderator, diskusi ini juga mengajak para politisi untuk menjadikan partai mereka sebagai arena politik yang dapat mengakomodasi kebutuhan para pemuda.

Dede Yusuf Effendy memaparkan materi
© FNF Indonesia

Acara diskusi dibuka dengan kata sambutan dari FNF yang disampaikan oleh Ingo Hauter. Hauter mengawalinya dengan berefleksi pada kegagalan partai FDP dalam pemilihan umum dan usaha mereka untuk mengubah citra partai dengan lebih melibatkan kaum muda, sebuah langkah yang dapat dipelajari oleh partai politik di Indonesia. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh narasumber pertama, Dede Yusuf Effendy, ketua komisi IX DPR RI. Berbeda dengan di zaman Orde Baru, menurut Effendy, generasi millenial yang hidup di masa reformasi lebih beruntung karena untuk dapat masuk ke parlemen, mereka hanya bergantung pada jumlah suara yang mereka peroleh dan tidak harus menunggu giliran setelah para senior. Sayangnya, kesempatan ini tidak dibarengi dengan minat generasi muda terhadap dunia politik. Faktor pendidikan menjadi salah satu hal yang digarisbawahi oleh Effendy dengan memaparkan fakta bahwa dari sekitar 128 juta angkatan kerja, hanya sekitar 18% yang lulus dari SMA/S1 dan berpikiran politik. Effendy juga menyampaikan, untuk menarik perhatian kaum muda, para politisi harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan generasi muda, salah satunya yaitu dengan membuat akun media sosial. Tidak hanya dapat menarik minat kaum muda, media sosial juga menjadi jembatan rakyat dan para politisi karena dapat menciptakan komunikasi dua arah. Effendy juga mengkritik banyak partai politik yang dianggap kurang memberi ruang bagi anak muda sehingga mereka pun hanya terlibat saat menjelang pemilihan umum. Partai politik seharusnya berhenti menjadikan cool politics sebagai sebuah wacana dan mulai beraksi seperti dengan memprakarsai civil movement atau membicarakan Undang-Undang yang benar-benar dibutuhkan masyarakat, khususnya generasi muda.

Narasumber kedua, Hilmi Rahman, dosen Universitas Indonesia memaparkan tiga daya saing yang harus dimiliki oleh partai politik dewasa ini. Pertama, dari segi rekruitmen anggota, partai politik harus mulai turun dan terlibat di dunia kemahasiswaan. Kedua, partai politik harus melakukan diversifikasi dan tidak terpaku pada satu aspek saja yaitu aspek politik namun harus merambah ke aspek lainnya seperti ekonomi atau budaya. Ketiga, partai politik harus meniadakan hambatan dalam berpolitik dan meninggalkan kebiasaan politik cangkul. Rahman juga menyesalkan ketidakpercayaan generasi muda terhadap partai politik yang tampak dari komentar-komentar mereka di media sosial yang cenderung sinis. Namun ini berarti, pendidikan politik yang dilakukan belum berhasil. Untuk mendapatkan kepercayaan generasi muda, partai politik harus terlebih dahulu memberi kepercayaan pada generasi muda. Hal ini dapat dilakukan dengan berhenti menjadikan generasi muda sebagai pendengar saja namun juga sebagai pembicara dan mulai menyiapkan mereka sebagai perumus kebijakan.

para peserta diskusi
© FNF Indonesia

Sementara itu, narasumber ketiga, Jerry Indrawan yang merupakan seorang dosen dan peneliti dari Universitas Paramadina memaparkan permasalahan yang sama. Partai politik di Indonesia masih kurang mengakomodsi anak muda. Mereka umumnya hanya mengajak kaum muda untuk berpartisipasi dalam acara-acara partai tanpa ada respon lanjutan. Indrawan juga menyayangkan sikap banyak anggota partai yang takut bertemu mahasiswa karena pertanyaan mereka yang kritis dan sulit dijawab, padahal seharusnya mereka melihat mahasiswa sebagai kader yang dapat memajukan partai tersebut. Menurut Indrawan, Indonesia dapat mencontoh negara seperti Finlandia yang memberikan pendidikan politik sejak usia dini sehingga dunia politik tidak lagi diidentikkan dengan generasi tua. Ia juga mengusulkan bahwa partai politik mendirikan sayap pemuda yang bertugas untuk membuat shadow policy yang kemudian akan diusulkan ke partai.