DE

Demokrasi
Diskusi Publik dan Peluncuran Buku “Apakah Kita Cukup Baik untuk Kebebasan?”

Qubicle Center, 29 September 2016
public discussion and book launching
© FNF Indonesia

No people who lost their characters kept their liberties.” (Tidak ada seorangpun yang telah kehilangan karakternya bisa menjaga kebebasannya). Karakter dan kebebasan adalah hubungan yang tidak tergantikan. Hal itulah yang menjadi sorotan buku “Apakah Kita Cukup Baik untuk Kebebasan” (Lawrence Reed) yang baru saja diluncurkan oleh Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia bersama dengan Freedom Institute. Untuk membahas lebih lanjut isi buku tersebut, FNF Indonesia bekerjasama dengan Freedom Institute, Liberty Studies dan Forum Muda, Berbuat dan Bertanggungjawab (MBB) menyelenggarakan diskusi publik dengan judul yang sama. Acara ini dilaksanakan pada hari Kamis, 29 September 2016 di Qubicle Centre – Senopati 79.

diskusi bersama narasumber
© FNF Indonesia

Diskusi publik dan peluncuran buku “Apakah Kita Cukup Baik untuk Kebebasan?” ini diselenggarakan sebagai rangkaian dari Freedom Week 2016 yang dilakukan serentak di berbagai perwakilan FNF di Asia Timur dan Asia Tenggara. Acara kali ini menghadirkan pembicara Luthfi Assyaukanie (founder Qureta), Rudolf Dethu (koordinator Forum MBB) dan Fadly Noor Azizi (founder Liberty Studies) serta moderator Muhammad Iksan (Suara Kebebasan). Selain buku “Apakah Kita Cukup Baik untuk Kebebasan?” (Lawrnce Reed), pada tahun ini FNF juga telah meluncurkan beberapa buku, antara lain “Dimensi Sosial Kebijakan Liberal” (Hubertus Muller-Groeling), “Apa Itu Hak Asasi Manusia?” (Hardy Bouillon) dan Kebebasan di Dunia Modern (Richard D. North).

Sebagai pembicara pertama sekaligus yang telah sejak lama membaca buku karya Lawrence Reed ini, Luthfi Asyaukanie membuka diskusi dengan pertanyaan; “Apakah Kita Cukup Baik untuk Kebebasan?” atau “Apakah Kita Sudah Cukup Bebas?” Sebagai buku yang disampaikan dengan cara sangat personal, Luthfi mengungkapkan bahwa karakter baik juga memiliki keterbatasan. Dalam contoh masyarakat Indonesia, intoleransi dan kekerasan masih banyak mewarnai kehidupan sehari-hari. Adanya indeks kebebasan oleh sejumlah organisasi yang mengusung perlindungan kebebasan tidak lantas dapat menjadi tolok ukur. Dalam konteks Indonesia, indeks kebebasan negara ini tidak serta merta dapat dibandingkan dengan indeks kebebasan negara-negara maju. Terkait integritas yang menjadi karakter inti dari kebebasan, hal ini juga merupakan akumulasi dari pilihan orang-orang di sekitarnya.

Berangkat dari perspektif hak sipil dan hak politik, pemaparan Rudolf Dethu menekankan keberagaman dan kebebasan berekspresi sebagai bagian penting dari pertanyaan “Apakah Kita Cukup Baik untuk Kebebasan?” Dalam pemaparannya, Dethu menyoroti sejumlah peraturan di Indonesia yang hanya mewakili kepentingan tertentu dan justru membatasi kebebasan atau keberagaman cara berekspresi di negeri ini. Hak sipil dan hak politik sendiri seharusnya terdiri atas hak atas hidup, hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas kesamaan di muka badan peradilan, hak atas kebebasan berpikir dan beragama, hingga hak kebebasan berkumpul secara damai. Sebagai seorang yang berasal dari Bali, Dethu memaparkan perkembangan gerakan ForBALI yang semakin masif memperjuangkan penolakan reklamasi Teluk Benoa, di tengah berbagai tekanan dari sejumlah pihak.

Sebagai pembicara dari perspektif pemuda, Fadly Noor menyoroti relasi antara kebebasan dan prinsip-prinsip dasar Liberalisme dan bagaimana kata “Liberal” seringkali disalahartikan. Sesuai dengan fenomena anak-anak muda saat ini, Fadly menyoroti fenomena selebrita remaja yang semakin menjamur melalui media sosial. Dalam hal ini, karakter masyarakat merdeka masih menjadi hal yang dipertanyakan di Indonesia. Apakah merdeka selalu berarti bertentangan dengan norma-norma yang telah ada, ataukah merdeka sebenarnya adalah bagian dari cara berpikir terbuka – termasuk menerima perbedaan tanpa penghakiman tertentu.

Jason Ranti
© FNF Indonesia

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan penampilan musisi Jason Ranti. Melalui liriknya yang lucu dan terkadang satir, Jason menggambarkan potret sosial di Indonesia, terutama karakter “baik” di Indonesia yang seringkali masih dikaitkan dengan yang tampak di permukaan; “hatinya gelap, bajunya berkilau”. Mengutip diskusi kali ini, kata kunci kebebasan adalah regulasi; sesuatu yang seharusnya ditetapkan tidak hanya berdasarkan apa yang diyakini satu orang untuk diterapkan ke semua orang.