DE

Kebebasan Ekonomi
Diskusi Publik “MEA: Globalisasi dan Budaya”

Bebek Bengil , 18 Oktober 2016
Diskusi Publik MEA
© FNF Indonesia

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, ASEAN tidak lebih dari nama sebuah organisasi yang mereka pelajari dalam pelajaran sejarah di sekolah. Pengimplementasian MEA yang menjadi program kerjasama ASEAN tidak dipandang sebagai sebuah kesempatan melainkan sebuah ancaman bagi para tenaga kerja dan kebudayaan Indonesia. Lalu bagaimanakah potensi Indonesia dapat dikembangkan sehingga dapat bersaing dalam kancah MEA dan tantangan apakah yang dihadapi masyarakat khususnya para pekerja budaya? Topik-topik ini menjadi pembahasan utama dalam diskusi publik bertemakan “MEA: Globalisasi dan Budaya” yang diselenggarakan melalui kerjasama FNF dan Partai Demokrat pada tanggal 18 Oktober yang lalu. Diskusi publik yang berlangsung di Restoran Bebek Bengil, Menteng, Jakarta Pusat ini menghadirkan tiga orang narasumber yaitu, Mohamad Ikhsan Modjo, Okky Madasari dan Nanda Persada, serta dipandu oleh moderator Kris Sandhi Soekartawi.

Ketua panitia, Sandra Tandjung membuka acara diskusi dengan kata sambutan yang menekankan pada globalisasi ekonomi dan keterbukaan pasar internasional yang dapat menunjang produktivitas dalam negeri. Namun globalisasi dinilai dapat menjadi pisau bermata dua yang di satu sisi memberikan kemajuan namun dapat menggerus nilai-nilai kebudayaan. Meski demikian, globalisasi tidak perlu ditakuti karena Indonesia memiliki banyak potensi ekonomi dan kekayaan kebudayaan. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan singkat dari narasumber pertama, Mohamad Ikhsan Modjo yang juga merupakan wakil sekretaris jenderal Partai Demokrat. Dalam pemaparannya, Modjo menjelaskan mengenai aspek perekonomian ASEAN secara garis besar. Meski sejak awal dibentuknya telah memiliki motif politik, negara-negara ASEAN kurang menjalin kerjasama dari segi perdagangan, investasi maupun tenaga kerja. Sementara itu, dari sektor perdagangan terdapat beberapa persoalan yang meliputi harmonisasi tarif dan proteksionisme. Modjo juga menyinggung fenomena brexit dalam Uni Eropa yang membuat orang semakin mempertanyakan regionalisme dan relevansinya. Di ASEAN sendiri, negara-negara anggotanya juga terbagi ke dalam kubu-kubu yang pro dan kontra dengan diterapkannya TPP (Trans Pacific Partnership)

para peserta diskusi
© FNF Indonesia

Narasumber kedua, Okky Madasari yang merupakan seorang novelis dan pemrakarsa ASEAN Literary Festival kembali menyinggung posisi ASEAN dalam masyarakat Indonesia yang masih menyerupai ilusi. Tidak adanya sense of belonging menyebabkan masyarakat menolak mengidentifikasikan diri sebagai warga ASEAN dan merasa terancam dengan adanya MEA. Madasari melihat bagaimana karya sastra dapat membantu masyarakat ASEAN untuk dapat mengenal satu sama lain. Menurutnya, sudah saatnya negara-negara ASEAN mengadakan pertukaran karya seni yang secara ekonomi cukup menguntungkan bagi Indonesia. Madasari juga menyarankan agar pemerintah melakukan penerjemahan karya sastra ASEAN dan memasukkannya ke dalam kurikulum karena melalui karya sastra, Indonesia telah menjadi target pasar. Sementara itu, narasumber ketiga, Nanda Persada melihat peluang besar Indonesia di kancah MEA dari segi sosial dan budaya, namun ia menyayangkan masih minimnya perhatian dari pemerintah terhadap para pekerja seni di dunia hiburan, seperti produk undang-undang tentang Hak Cipta yang hingga saat ini belum terealisasikan dengan baik. Berefleksi pada Korea Selatan yang selalu menampilkan kebudayaan tradisional Korea dalam produk budaya populernya, Persada juga melihat beragam kearifan lokal di Indonesia sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan dalam dunia hiburan.

group picture
© FNF Indonesia

Menyimpulkan hasil diskusi setelah sesi tanya jawab, moderator Kris Sandhi Soekartawi percaya bahwa potensi Indonesia dalam MEA hanya dapat dikembangkan apabila diterapkan tipe helix yang meliputi kerjasama sinergis dari pemerintah, swasta dan public atau akademisi. Acara diskusi yang dihadiri sekitar 55 orang peserta ini kemudian ditutup dengan closing remarks oleh Friedrich Naumann Foundation yang diwakili oleh Program Coordinator, Lantip Prakoso dan dilanjutkan dengan foto dan makan bersama.