DE

Kebebasan Ekonomi
Diskusi Publik “Rasionalitas Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok”

The Indonesian Institute, 28 Juni 2016
Diskusi Publik “Rasionalitas Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok”
© FNF Indonesia

Indonesia adalah negara agraris, namun penduduknya seringkali mendapatkan harga kebutuhan pokok layaknya negara bukan agraris. Hal tersebut telah lama menjadi pertanyaan sekaligus ironi di negara ini. Di satu sisi, retorika “kedaulatan pangan” seringkali menjadi jargon pemerintah. Namun di sisi lain, pasokan barang yang kurang mengharuskan kebijakan impor. Fenomena ini terlihat jelas menjelang hari raya keagamaan, khususnya Idul Fitri yang sebentar lagi akan datang. Pada tanggal 28 Juni 2016, Friedrich Naumann Foundation bekerjasama dengan Freedom Institute, The Indonesian Institute, suarakebebasan.org, Liberty Studies dan Student For Liberty mengadakan diskusi dengan tajuk “Rasionalitas Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok” di Ruang Diskusi The Indonesian Institute (TII). Acara ini dihadiri oleh peserta yang merupakan mahasiswa, wartawan, peneliti dan juga observer dari Kementerian Hukum dan HAM.

Diskusi publik ini menghadirkan 4 pembicara dengan latar belakang yang berbeda. Pembicara pertama adalah Taufik Ahmad yang menjabat sebagai Plt. Deputi Bidang Pencegaha dan Direktur Direktorat Pengkajian, Kebijakan dan Advokasi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam pemaparannya, Taufik Ahmad menjelaskan bahwa tataniaga pangan di Indonesia mendorong harga pangan di Indonesia naik dan hanya terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha. Tataniaga inilah yang akhirnya cenderung disalahgunakan untuk mendistorsi pasar. Terkait hal ini, Taufik mengungkapkan beberapa kebijakan yang berpotensi menjadi sumber kenaikan harga produk dan jasa, antara lain adanya intervensi negara terhadap tataniaga produk atau komoditas yang tidak utuh, penetapan batas bawah tarif/harga, pemberian hak monopoli/oligopoli tanpa disertai upaya pengendaliannya, serta kebijakan perlindungan produk dalam negeri yang tidak tepat. Dalam beberapa contoh industri bahan pokok, seperti beras dan daging sapi, intervensi yang dilakukan pemerintah hanya di sektor hulu, sementara sektor hilir diserahkan kepada mekanisme pasar. Sementara itu, untuk komoditas lain seperti kedelai dan jagung, mekanisme pasar di sektor hulu dan hilir telah berlaku secara menyeluruh. Khusus bagi daging sapi, harga komoditas ini di tingkat internasional cenderung mengalami penurunan, namun secara domestik justru terus mengalami kenaikan harga.

Diskusi Publik “Rasionalitas Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok”
Taufik Ahmad, KPPU © FNF Indonesia

Diskusi berlanjut dengan pembicara kedua, yaitu dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal. Dalam penjelasannya, Fithra menyoroti konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) dan kaitannya dengan penyediaan kebutuhan pokok di Indonesia. Lebih lanjut lagi, kebijakan impor tidak selalu merupakan hal negatif. Menurut Fithra, impor dapat dimaknai sebagaiindirect method of production. Hadirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan keterbukaan pasar sebenarnya dapat menurunkan harga. Namun, seringkali pasar bebas justru dianggap sebagai ancaman. Terkait keunggulan komparatif, Fithra menyoroti database Kementerian terkait terhadap produksi kebutuhan pokok di Indonesia. Database yang lengkap seharusnya dapat menunjang produksi keunggulan komparatif Indonesia dan mengurangi adanya assymetric information yang selama ini melanggengkan praktik kartel pangan.

Diskusi Publik “Rasionalitas Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok”
Kiri – kanan: Eko Siswandanu (COINS), M. Reza Hermanto (TII), M. Iksan (Moderator), Taufik Ahmad (KPPU) dan Fithra Faisal (FE UI) © FNF Indonesia

Sebagai tuan rumah diskusi, peneliti TII, M. Reza Hermanto mengemukakan beberapa masalah pokok dalam penyediaan kebutuhan pokok di Indonesia, antara lain rantai pasokan yang rumit, masalah cuaca, khususnya El Nino yang menghambat panen dan permintaan yang melonjak dalam bulan-bulan istimewa, khususnya hari raya. Penyederhanaan rantai pasokan kebutuhan pokok akan membutuhkan waktu lama. Sementara itu, Reza mengungkapkan bahwa hamper 50 persen pengeluaran masyarakat Indonesia dihabiskan untuk keperluan pangan. Guna memenuhi kebutuhan ini, opsi impor komoditas tertentu efektif pula dipertimbangkan.

Melanjutkan perspektif para peneliti muda, diskusi dilanjutkan dengan presentasi Eko Siswandanu dari Centre of Islamic Economic Study (COINS) UIN Jakarta. Terkait kenaikan harga kebutuhan pokok selama bulan Ramadhan, Eko menyinggung keyakinan adanya future income, seperti THR yang mendorong kecenderungan masyarakat Indonesia untuk membelanjakan uangnya lebih dari biasanya. Hal ini sebenarnya merupakan anomali tersendiri karena dari sisi permintaan (demand) semestinya konsumsi masyarakat di bulan puasa berkurang. Hal ini juga diamini oleh data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bahwa ada peningkatan konsumsi masyarakat sekitar 20 hingga 30 persen selama bulan puasa. Menurut Eko, adanya penolakan dari mahasiswa terhadap kenaikan harga bahan pokok tidak berarti bahwa mereka menolak peningkatan kesejahteraan bagi petani, namun menolak praktik kartel pangan yang terus memanfaatkan momentum Ramadhan.

Diskusi Publik “Rasionalitas Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok”
Eko Siswandanu, COINS © FNF Indonesia
Diskusi Publik “Rasionalitas Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok”
Sesi Tanya Jawab Peserta © FNF Indonesia

Diskusi pun berlanjut dengan sesi tanya jawab dari peserta diskusi. Pembahasan topik yang sedang hangat jelang hari raya ini diakhiri oleh buka puasa bersama dan networking antara peserta dan pembicara.