International Academy for Leadership
Ekonomi Biru dan Maknanya bagi Pembangunan Berkelanjutan
Ekonomi hijau mungkin telah cukup familiar terdengar. Ditilik dari kedua kata yang membentuknya, ekonomi hijau merupakan sebuah konsep ekonomi yang turut memperhatikan aspek lingkungan, misalnya dengan sistem minimalisasi limbah industri. Lalu bagaimana dengan ekonomi biru? Apa sebenarnya makna dan cakupannya?
Pada hari Sabtu, 25 November 2017 lalu, FNF Indonesia bekerjasama dengan alumni IAF Indonesia dan PDIP menyelenggarakan Diskusi Publik dan Replikasi IAF yang bertajuk “Memaknai Ekonomi Biru”. Diskusi ini diinisiasi oleh Lalu Solihin, peserta seminar IAF “What does Blue Economy change?” pada tahun 2016 lalu. Kegiatan yang diselenggarakan di Gumati Café – Bogor ini dihadiri oleh peserta yang sebagian besar adalah mahasiswa tingkat lanjut.
Sebagai narasumber utama, Lalu Solihin mengungkapkan bahwa “ekonomi biru” adalah konsep baru dalam pembangunan berkelanjutan. Secara definisi, pembangunan berkelanjutan sendiri dapat dimaknai sebagai upaya memenuhi kebutuhan tanpa membahayakan generasi mendatang. Secara historis, konsep ekonomi biru ini sebenarnya lahir melalui Konferensi PBB di Stockholm pada tahun 1972 mengenai Lingkungan dan Pembangunan Ekonomi. Konferensi ini kemudian menjadi tonggak upaya menghasilkan transformasi sistem ekonomi dari yang bersifat konvensional, berkelanjutan hingga ekonomi hijau dan biru itu sendiri. Istilah “ekonomi biru” pertama kali disebutkan oleh Gunter Pauli sebagai Green 2.0 atau ekonomi hijau yang disempurnakan. Dalam hal ini, ekonomi biru mengacu pada sejumlah poin penting, antara lain efisiensi sumber daya, pemanfaatan secara berjenjang, pemanfaatan limbah, hingga penggunaan inovasi untuk pemanfaatan sumber daya dan limbah.
Narasumber kedua, Muhammad Yusuf, turut sepakat bahwa ekonomi biru merupakan sebuah konsep dalam pembangunan berkelanjutan. Warna “biru” dalam konsep ini tidak semata-mata berarti bahwa konsep “ekonomi biru” hanya terkait dengan maritime atau kelautan saja. Warna biru di sini mengacu pada birunya laut dan langit, sesuatu yang patut dijaga di tengah berbagai pencemaran yang terjadi di dunia. Lebih lanjut dari ekonomi hijau, ekonomi biru menitikberatkan pada penggunaan limbah sebagai bahan baku sehingga ekonomi tidak hanya bersifat “ramah lingkungan”, tetapi juga mampu mengolah sisa kegiatan ekonomi menjadi produk yang tidak kalah bermanfaat.
Menjelang akhir dari kegiatan, sesi tanya jawab pun dibuka bagi peserta. Sejumlah pertanyaan muncul dari peserta mengenai sosialisasi konsep ekonomi biru, cara pengolah limbah, hingga berbagi pengalaman mengenai praktik nyata ekonomi biru di beberapa daerah di Jawa Tengah. Diharapkan agar aspek “warna” dalam konsep ekonomi hijau maupun biru ini tidak hanya berhenti pada jargon semata, namun dapat memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan yang berkelanjutan.
*Artikel ini adalah tulisan dari Sinta Suryani yang bekerja sebagai Program Officer di FNF Indonesia.