DE

Demokrasi
Fundamentalisme Agama: Ancaman Terhadap Pluralisme Indonesia?

Diskusi Publik, A One Hotel Jakarta, 5 April 2017
Diskusi Publik
© FNF Indonesia

Dalam beberapa bulan belakangan ini, isu SARA tidak henti-hentinya mewarnai dunia politik di Indonesia. Mulai dari isu penistaan agama, penafsiran ayat-ayat kitab suci dalam konteks politik masa kini, hingga anjuran untuk memilih pemimpin segolongan yang selalu diteriakkan oleh kaum fundamentalis, semua menggelitik kita untuk bertanya: Dapatkah pluralisme yang selama ini menjadi kebanggaan Indonesia itu bertahan? Guna membahas isu pluralisme dan fundamentalisme yang makin menguat dalam masyarakat dan mendorong kepekaan kaum muda terhadap isu keberagaman, Friedrich Naumann Foundation bekerja sama dengan divisi hubungan luar negeri Partai Demokrat menggelar sebuah diskusi publik yang bertajuk “Pluralisme di Tengah Fundamentalisme Agama dalam Masyarakat Indonesia” pada Rabu, 5 April 2017 di Hotel A One, Jakarta Pusat. Sebagai narasumber dalam diskusi ini, turut hadir anggota DPR Komisi VIII dari fraksi Demokrat, Dwi Astuti Wulandari; perwakilan Komnas HAM, Natalius Pigai serta dosen program studi filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung.

presentasi Dwi Astuti dari fraksi Demokrat
© FNF Indonesia

Sebagai narasumber pertama, Dwi Astuti Wulandari selaku perwakilan DPR di bidang agama, sosial dan pemberdayaan perempuan melihat fundamentalisme agama terjadi ketika masyarakat memiliki pemahaman yang minim terhadap agama di luar agama yang dianutnya. Meski demikian, fundamentalisme agama tidak selalu menjadi hal yang membahayakan. Dalam presentasinya, Wulandari membagi sikap fundamentalisme menjadi dua yaitu positif dan negatif. Fundamentalis positif menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai sumber moral dan etika untuk kemaslahatan publik seperti tercermin dalam munculnya partai-partai bernafaskan religi atau yang sering dikenal dengan Islam politik. Sementara itu fundamentalis negatif menjadikan teks dan tradisi keagamaan sebagai justifikasi terhadap kekerasan yang dilakukannya. Agar terhindar dari paham fundamentalisme yang negatif, Wulandari berpendapat bahwa keluarga dan sekolah harus mengambil peran yang besar dalam mendidik anak-anak mengenai keberagaman sejak usia dini.

Sementara itu, perwakilan KOMNAS HAM, Natalius Pigai mencoba untuk melihat lebih jauh dengan menarik isu ini keluar dari konteks agama. Menurutnya, diskriminasi dalam politik tidak terjadi terhadap kelompok agama tertentu saja melainkan juga terhadap kelompok suku dan daerah tertentu. Dalam struktur keanggotaan badan-badan pemerintah baik nasional maupun daerah, kelompok-kelompok minoritas masih memiliki representasi yang kecil sehingga dalam pembuatan keputusan kelompok-kelompok ini seringkali tidak diuntungkan. Pigai juga menegaskan bahwa Pancasila memberi ruang kepada siapa pun untuk menjadi pemimpin, tidak harus orang asli pribumi atau putra daerah. Ini adalah hak asasi manusia yang keberlangsungannya dijamin oleh hukum di Indonesia. Terkait dengan fundamentalisme agama, Pigai menghimbau untuk mewaspadai semakin berkembangnya gerakan muslim transnasional yang banyak disebarkan melalui keluarga maupun organisasi-organisasi masyarakat. Menurutnya, aliran-aliran keagamaan ini seringkali tidak lagi berkiblat kepada nusantara dan tidak sejalan dengan Pancasila yang menjunjung tinggi kebhinekaan di Indonesia.

Rocky Gerung
© FNF Indonesia

Pembicara terakhir, Rocky Gerung mengatakan bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya sudah merupakan masyarakat yang plural oleh karena itu ia berpendapat bahwa judul kegiatan ini seharusnya menekankan pada fundamentalisme di tengah pluralisme di Indonesia dan bukan sebaliknya. Meski demikian, pada praktiknya dalam dunia politik, pluralisme di Indonesia tidak selalu berjalan dengan mulus. Meski hampir setiap golongan memiliki perwakilan dalam pemerintahan, dalam pemilihan umum orang-orang masih banyak yang memilih sesuai dengan golongannya masing-masing. Walaupun tidak mendukung kelompok fundamentalisme, Gerung berpendapat bahwa penggunaan isu agama sebagai strategi politik sesungguhnya sah dan tidak melanggar hukum namun ia menyayangkan bahwa diskursus politik di Indonesia dewasa ini hanya berkembang melalui berita-berita hoax maupun gambar-gambar jenaka di internet dan kekurangan muatan intelektual. Sependapat dengan filsuf Hannah Arendt dalam bukunya “Thinking in Dark Times”, Gerung percaya bahwa aktivitas berpikir sangat krusial dilakukan dalam masa-masa seperti ini. Bangsa Indonesia, menurutnya, dibangun dari ide-ide cemerlang para founding fathers. Oleh karena itu, Gerung sangat menyayangkan bahwa para pemimpin negara sekarang ini lebih banyak fokus kepada rakyat kecil namun kurang melibatkan kelompok intelektual untuk berdiskusi bersama untuk  menyelesaikan permasalahan yang terjadi.