DE

International Visit
Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Ekonomi: Benarkah Beda Dimensi?

Economic Freedom Network (EFN) Conference 2016 – Manila, 22 – 23 November 2016
EFN 2016

EFN Conference 2016

©

Prinsip kebebasan ekonomi yang di dalamnya mencakup perdagangan bebas serta juga peran bisnis, baik itu kelompok bisnis besar dan usaha kecil, seringkali dianggap “membuat yang semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin.” Terlebih lagi dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan ekonomi pun acapkali dilihat sebagai dua hal yang bertentangan, atau bahkan mengancam satu dengan yang lainnya.

Milton Friedman, seorang ekonomis Amerika Serikat, dikenal dengan salah satu kutipannya, “The business of business is business. And the social responsibility of business is to increase its profits.” Oleh sebagian pihak, hal ini seringkali dijadikan dasar bahwa bisnis dan kebebasan ekonomi justru menjadi ancaman terhadap HAM itu sendiri. Sistem perburuhan anak (child labor) hingga eksploitasi negara-negara berkembang menjadi contoh argumen yang menganggap bahwa kebebasan ekonomi dan HAM berada di dalam dimensi yang berbeda.

Konferensi Economic Freedom Network (EFN) pada tahun 2016 ini mengangkat tema “Economic Freedom and Human Rights in Business” dan dilaksanakan di Dusit Thani Hotel – Manila pada tanggal 22 – 23 November 2016. Konferensi yang merupakan agenda tahunan ini menghadirkan kelompok masyarakat sipil yang terdiri atas kelompok think tank, lembaga riset serta akademisi yang berkiprah dalam aspek kebebasan ekonomi. Beberapa nama yang mengisi konferensi ini, antara lain adalah Markus Loening, mantan Komisioner Human Rights Policy and Humanitarian Aid Republik Federal Jerman; Fred McMahon, Research Fellow Fraser Institute; hingga Wakil Presiden Filipina, Leni Robredo.

Opening Remarks of EFN 2016
Opening Remarks of EFN 2016 © FNF Indonesia

Ketika membicarakan kaitan antara kebebasan ekonomi dan HAM, kata “CSR” atau Corporate Social Responsibility seringkali dianggap sebagai jawaban. Hal ini tidak salah, namun kaitannya tidak hanya sebatas itu saja. Secara ideal, HAM seharusnya menjadi kerangka legal dalam pelaksanaan bisnis. Dalam kerangka Liberalisme, tentu saja aspek ini berkaitan dengan “rule of law”. Salah satu contohnya adalah inisiatif UN Global Compact yang berisikan 10 guiding principles dalam pelaksanaan bisnis, tak terkecuali pemenuhan HAM sebagai prinsip pertama.

Prinsip ideal ini tentu tidak lepas dari sejumlah bukti yang berkebalikan dalam kenyataannya. Praktik korporasi besar dengan sistem perburuhan anak, misalnya. Namun, di sisi lain, bisnis juga memerlukan adanya pengakuan (acknowledgement). Dengan perkembangan media dewasa ini, sulit untuk membatasi arus informasi yang memberitakan praktik negatif bisnis. Kelompok bisnis pun memiliki public sphere – nya sendiri yang tidak hanya berkaitan dengan pasar, namun juga kredibilitasnya dalam masyarakat. “Naming and shaming” kelompok bisnis dengan pelanggaran HAM memang menjadi alternatif, namun bisnis yang baik adalah yang mampu transparan terhadap rantai pasokannya (supply chain).

Sesi "Global Supply Chain and Human Rights"
Sesi "Global Supply Chain and Human Rights" © FNF Indonesia

Dengan begitu, kebebasan ekonomi sebenarnya tidak hanya merupakan prinsip yang berpihak terhadap korporasi besar saja. Kebebasan ekonomi seharusnya menjadi jalan yang menyediakan pilihan – pilihan kepada individu untuk menentukan Dalam keynote speech-nya, Wakil Presiden Filipina, Leni Robredo menekankan bahwa makna “kebebasan” dalam ekonomi juga berarti bebas dalam mengembangkan usaha ekonomi dalam bentuk korporasi besar atau bertahan sebagai usaha kecil.

Makna “kebebasan” ini pun bermakna bahwa kebebasan ekonomi sebenarnya bersifat inklusif, yang artinya setiap orang dapat bebas berkompetisi sesuai dengan kemampuannya. Inklusif di sini juga berarti bahwa laki-laki dan perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan serta juga menciptakan masyarakat yang berdaya. Hal ini juga menjadi perhatian dalam UN Global Compact, yang menekankan prinsip non-diskriminasi dalam lingkungan pekerjaan.

Sesi "Women, Business and Human Rights"
Sesi "Women, Business and Human Rights" © FNF Indonesia

Mengaitkan dimensi kebebasan ekonomi, bisnis dan HAM tentu tidak lepas dari aspek “rule of law”. Dalam Economic Freedom of the World Report yang dirilis EFN Asia dan Fraser Institute setiap tahunnya, tingkat kebebasan ekonomi negara-negara berbanding lurus dengan human development index-nya, seperti angka harapan hidup serta juga kesetaraan gender. Beberapa indikator yang digunakan antara lain adalah ukuran dari pemerintahan, struktur hukum, akses perdagangan internasional dan juga regulasi bisnis dan buruh. Kebebasan ekonomi menghasilkan pemenuhan terhadap HAM. Begitu pula HAM yang seharusnya dapat menjadi guiding principle kebebasan ekonomi dan bisnis yang baik. Sehingga yang ada adalah “the business of business is to add something for society.

Peluncuran "Economic Freedom of the World" Report 2016
Peluncuran "Economic Freedom of the World" Report 2016 ©   FNF Indonesia