IAF Replication
Kebebasan Berpendapat di Ruang Digital: Tantangan dan Harapan untuk Generasi Muda Indonesia
Pada 25 Oktober 2024, Friedrich Naumann Stiftung (FNF) Indonesia mengadakan diskusi bertema “Kebebasan Berpendapat di Ruang Digital” di Jakarta.
Diskusi ini dibuka oleh Dr. Stefan Diederich, Direktur FNF Indonesia, yang menekankan pentingnya kebebasan berekspresi di era digital dan memperkenalkan pembicara utama: Ratu Tasya dari LP3ES, Hafizh Nabiyyin dari SAFEnet, dan Dimas Saudian dari Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM. Diederich juga mengapresiasi para alumni International Academy for Leadership (IAF) yang terlibat dalam penyelenggaraan acara ini.
"Pertemuan langsung seperti ini terasa sangat berarti, mengingat selama pandemi kita terbiasa dengan diskusi daring," ujar Diederich. "Tempat ini merupakan ruang di mana kebebasan berekspresi dipraktikkan secara nyata, dan saya mengajak kita semua berbicara dengan jujur dan terbuka, namun tetap saling menghormati."
Ia menambahkan bahwa teknologi digital telah mengubah kehidupan sehari-hari kita dengan memberi peluang bagi lebih banyak suara untuk terdengar. Namun, ia mengingatkan akan masih banyaknya tantangan yang dihadapi.
“Anonimitas di dunia maya terkadang mendorong munculnya konten berbahaya—seperti pelecehan, ujaran kebencian, dan penyebaran informasi yang salah—yang berpotensi merusak tatanan sosial kita,” ujar Diederich. “Maka dari itu, sangat penting bagi kita untuk menemukan keseimbangan antara melindungi kebebasan individu dan menjaga kesejahteraan masyarakat.”
Demokrasi Digital dan Peran Generasi Muda
Ratu Tasya membuka diskusi dengan menekankan bahwa demokrasi digital tidak hanya berarti memanfaatkan teknologi, tetapi juga mendukung praktik demokrasi melalui ruang digital.
“Demokrasi digital adalah segala praktik demokrasi yang memanfaatkan ruang digital untuk memperjuangkan dan menyuarakan aspirasi publik,” ujarnya.
Ratu menyoroti bahwa generasi muda memainkan peran penting dalam menjaga kualitas demokrasi di era digital ini, terutama dalam memperjuangkan hak atas informasi yang adil dan kredibel.
Ratu juga menekankan pentingnya literasi digital untuk melawan polusi informasi. Menurutnya, generasi muda harus memiliki kemampuan kritis untuk membedakan informasi yang valid dan yang tidak, terutama di tengah maraknya hoaks yang telah menjadi semacam industri di Indonesia.
“Literasi publik terkait politik dan isu sosial politik lainnya harus terus ditingkatkan. Kita bisa membuat konten yang melawan narasi palsu atau buzzer,” katanya.
Ratu juga menyampaikan kekhawatirannya tentang industri hoaks yang berkembang pesat di Indonesia. “Hoaks sekarang seperti industri. Kalau anak muda tidak membuat konten yang mendidik, bagaimana nasib masa depan kita?”
Kriminalisasi di Bawah UU ITE
Dalam sesi selanjutnya, Hafizh Nabiyyin dari SAFEnet memaparkan bagaimana UU ITE, yang disahkan pada tahun 2008 dan telah beberapa kali direvisi, seringkali digunakan untuk mengkriminalisasi individu yang seharusnya memiliki kebebasan berekspresi.
Menurut data dari SAFEnet, terdapat peningkatan signifikan dalam jumlah kasus kriminalisasi di bawah UU ITE selama beberapa tahun terakhir. Di tahun 2024, data menunjukkan sudah ada 126 kasus kriminalisasi hingga bulan Juli, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga akhir tahun.
“Revisi UU ITE yang baru pada 2023 memang membawa perubahan, namun pasal-pasal karet masih tetap ada, dan ancaman terhadap kebebasan berekspresi masih nyata,” jelas Hafizh.
Lebih lanjut, Hafizh menjelaskan bahwa pasal-pasal dalam UU ITE sering disalahgunakan untuk mengkriminalisasi mereka yang tidak memiliki afiliasi politik atau kekuatan ekonomi yang cukup besar.
Berdasarkan data SAFEnet, sebagian besar korban UU ITE adalah warga biasa, sementara pelapor kasus sering kali adalah lembaga atau pejabat publik yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi.
“UU ITE yang seharusnya melindungi kita dari kejahatan siber, malah sering menjadi alat untuk mengekang suara yang kritis,” tambahnya.
Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan perlindungan hukum yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan UU ITE.
Pasal-Pasal Karet dalam UU ITE: Ancaman bagi Kebebasan Berekspresi
Hafizh menguraikan lebih dalam mengenai pasal-pasal dalam UU ITE yang sering disebut sebagai “pasal karet,” termasuk pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang kerap kali digunakan sebagai dasar kriminalisasi.
“Pasal-pasal ini sangat berbahaya karena tidak memiliki batasan yang jelas, dan sering kali dijadikan alat untuk menekan suara kritis,” jelas Hafizh.
Salah satu kasus terkenal yang disebutnya adalah kasus Prita Mulyasari pada 2009, di mana seorang pasien dipidana hanya karena menyampaikan keluhannya terhadap pelayanan sebuah rumah sakit.
“Kasus Prita hanyalah satu dari sekian banyak korban. UU ITE sering disalahgunakan untuk mengkriminalisasi opini, bukan kejahatan,” ujarnya.
Hafizh juga menyebutkan beberapa pasal baru dalam revisi UU ITE yang disahkan pada Januari 2024. Misalnya, Pasal 28 Ayat 3 tentang penyebaran berita bohong yang menyebabkan kerusuhan.
“Pasal ini sangat berpotensi disalahgunakan, karena tidak ada definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan ‘berita bohong,’” ungkapnya.
Hafizh memperingatkan bahwa jika tidak ada pengawasan ketat, pasal ini bisa menjadi alat untuk menekan pendapat yang sah di ruang digital.
Selain itu, negara perlu menerapkan asas proporsionalitas dalam menegakkan hukum, terutama ketika berhadapan dengan kasus kebebasan berekspresi, agar undang-undang ini tidak menjadi alat untuk mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, ujar Hafizh.
Perspektif Pemerintah tentang Kebebasan Berekspresi
Dimas Saudian dari Direktorat Jenderal HAM menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak fundamental yang harus dijaga demi mendukung jalannya demokrasi yang sehat. Ia menjelaskan bahwa pemerintah berupaya melindungi hak ini melalui berbagai peraturan, termasuk Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia dan Strategi Nasional Bisnis dan HAM.
“Kami menyusun rencana aksi HAM yang akan menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk melindungi hak asasi, termasuk kebebasan berekspresi, hingga tahun 2029,” ujar Dimas.
Menurutnya, pemerintah telah mencoba memperbaiki undang-undang terkait, termasuk revisi UU ITE, untuk mengakomodasi tuntutan masyarakat akan kebebasan yang lebih luas.
“Meski tidak bisa membuat semua orang puas, revisi UU ITE adalah langkah penting untuk melindungi kebebasan berekspresi sekaligus menjaga ketertiban di ruang digital,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa peran pemerintah dalam memberikan ruang bagi publik untuk berekspresi harus tetap berjalan, dan penting bagi masyarakat untuk memahami hak dan batasan kebebasan berekspresi.
Edukasi HAM dan Pentingnya Literasi Sosial
Menutup diskusi, Dimas menekankan bahwa edukasi HAM bagi masyarakat harus ditingkatkan, terutama dalam memahami cara menyampaikan kritik yang konstruktif. Direktorat Jenderal HAM telah memfasilitasi beberapa program, termasuk layanan pengaduan dan bantuan hukum gratis, yang dirancang untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam memahami hak mereka.
“Kami berharap masyarakat bisa lebih memahami hak dan batasan kebebasan berekspresi, termasuk cara-cara yang tepat dalam mengungkapkan pendapat mereka,” ungkapnya.
Dimas juga menyebutkan bahwa Ditjen HAM sedang mengembangkan aplikasi untuk menilai risiko bisnis terkait HAM, yang dapat membantu perusahaan dalam memastikan bahwa aktivitas bisnis mereka tidak melanggar kebebasan berekspresi karyawan atau kelompok rentan lainnya.
Hal ini merupakan langkah maju yang penting dalam memperkuat HAM di sektor bisnis dan ruang publik.
Tantangan dan Harapan Kebebasan Berekspresi di Indonesia
Diskusi ini memberikan gambaran jelas mengenai tantangan dan peluang bagi kebebasan berekspresi di ruang digital di Indonesia.
Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan generasi muda dapat menciptakan ruang digital yang lebih aman, adil, dan mendukung demokrasi.
Hafizh menekankan pentingnya kebebasan berpendapat sebagai fondasi demokrasi yang harus terus dijaga oleh semua pihak.
“Kebebasan berpendapat adalah fondasi demokrasi, dan kita semua bertanggung jawab untuk menjaganya,” tegasnya di akhir diskusi.
Dengan tekad kuat dari semua pihak, Indonesia dapat menjaga ruang digital yang inklusif dan mendukung kebebasan berekspresi, demi masa depan demokrasi yang lebih baik.