International Academy for Leadership
Kebebasan Pers dan Taktik Menghadapi Menguatnya Populisme

Penulis bersama peserta dari berbagai negara saat presentasi kelompok dalam seminar yang digelar Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit di Theodor-Heuss-Akademie di Gummersbach, Jerman
“Populisme kanan di berbagai belahan dunia semakin menguat. Situasinya tidak mudah, kita perlu menekan balik. Untuk mengembalikan demokrasi, kita perlu bekerja sama dan menumbuhkan saling percaya,” Direktur International Academy for Leadership (Internationale Akademie für Führungskräfte atau IAF, Bettina Solinger berbicara pada malam perpisahaan di penghujung seminar.
Pesan Bettina kepada seluruh fasilitator dan peserta sangat kuat, merangkum rangkaian seminar yang digelar organisasi nirlaba Jerman berpengaruh, Friedrich Naumann Foundation (FNF) for Freedom dalam forum IAF. Seminar yang berlangsung pada 17 hingga 29 November 2024 mengambil tema Freedom of the Press: Challenges in the Digital Age di Theodor-Heuss-Straße 26, Gummersbach.
Gummersbach merupakan kota di negara bagian Rhine-Westphalia Utara di Jerman Barat. Kota ini sangat tenang, dikitari perbukitan indah dengan dedaunan berkelir keperakan yang rontok disapu angin kencang dan koak burung. Salju pada musim gugur menyambut pada hari kedua seminar.
Saya memperoleh kesempatan mengikuti seminar setelah melewati proses seleksi FNF Indonesia. Seminar itu mendatangkan 27 peserta berlatar belakang jurnalis, pengusaha media, bloger, aktivis liberal, dan politikus dari negara kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa. Yang menarik, sebagian jurnalis bekerja dalam situasi sulit karena di negaranya terjadi konflik dan perang. Ada juga yang bekerja di negara dengan iklim kebebasan pers dalam urutan bawah sesuai indeks kebebasan pers yang diterbitkan Reporters Without Borders (RSF), organisasi nirlaba di Prancis yang mendukung kebebasan informasi. Sebagian wartawan datang dari Palestina, Tibet, dan Georgia.
Di sela-sela program, saya mewawancarai mereka untuk mengetahui cara mereka bertahan dalam situasi sulit. Salah satu yang saya wawancarai Tenzin Gyurmey. Tenzin merupakan jurnalis eksil yang dipaksa meninggalkan Tibet karena aneksasi Cina. Dalam cengkeraman Cina, jurnalis tak bisa bekerja bebas di Tibet. Mereka kerap mendapat pengawasan ketat dan penguntitan pemerintah ketika meliput pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pemerintah Cina memenjarakan sejumlah aktivis HAM.
Tenzin kini tinggal dalam pengasingan di India. Selama bekerja sebagai jurnalis, Tenzin mengangkat berbagai kisah perjuangan kemerdekaan warga Tibet melalui pemberitaan media massa. Salah satunya mendukung Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet dan penerima hadiah Nobel Perdamaian untuk menekan Cina secara politis di tingkat internasional. Dalai Lama kini tinggal di Dharmasala di India utara. Seperti Dalai Lama, Tenzin ingin meneruskan perjuangan pembebasan Tibet.

Penulis di Theodor-Heuss-Akademie di Gummersbach, Jerman.
Kebebasan pers mengalami tekanan tak hanya di Tibet. Di negara saya, Indonesia, skor kebebasan pers Tahun 2024 merosot ke posisi 111 dari 180 negara, turun dibanding tahun sebelumnya pada peringkat 108. Tema yang disodorkan FNF Indonesia sangat cocok dengan pekerjaan saya. Lewat seminar itu, saya mempelajari kebebasan pers sebagai sesuatu yang sangat penting bagi liberalisme. Ideologi yang menekankan pada kebebasan itu menawarkan berbagai strategi untuk mempertahankan demokrasi di tengah populisme yang semakin menguat, termasuk di Jerman.
Dalam suatu sesi seminar, saya mendapatkan gambaran tentang situasi politik terkini di Jerman. Politisi Free Democratic Party (FDP) atau Partai Demokrat Bebas negara bagian Nordrhein-Westfalen (NRW), Petra Franke menyatakan terjadi perpecahan koalisi parpol yang berkuasa yakni Social Democratic Party atau Partai Sosial Demokrat (SPD), FDP, dan Green Partai atau Partai Hijau. Kanselir Olaf Scholz memecat Menteri Keuangan Christian Lindner dari FDP. Pecahnya koalisi itu terjadi karena perbedaan pendapat tentang cara menyelamatkan ekonomi Jerman.
Petra menyebutkan situasi politik dan ekonomi Jerman sulit di tengah perang di Eropa yakni perang Ukraina atas invasi Rusia. FDP keluar dari koalisi yang sebelumnya terjalin dengan SPD dan Partai Hijau setelah pemecatan Menteri Keuangan. Pecahnya koalisi ini menurut dia membawa angin segar bagi kelompok populis sayap kanan. Situasi sekarang ini menurut Petra berbahaya bagi demokrasi dan partainya terus berjuang untuk mempertahankan demokrasi.
Di Jerman, kelompok populis sayap kanan dikenal gencar kampanye anti-imigran, mengangkat jargon nasionalis, tidak ramah terhadap jurnalis maupun kelompok pro-demokrasi. Di Jerman, sejumlah media massa menyebutkan partai sayap kanan Alternative für Deutschland (AfD) eksis menyuarakan ide remigrasi dan deportasi orang-orang yang bukan Jerman asli. Partai ini makin digemari dan memperoleh suara yang signifikan di tiga negara bagian Jerman Timur, salah satunya di Thüringen.
Kondisi politik Jerman hari-hari ini memang mencemaskan. Dari Gummersbach, rombongan peserta diajak ke Berlin sebagai bagian dari program excursion atau perjalanan wisata. Selain mengunjungi monumen peringatan Holocaust atau Holocaust Memorial dan The Topography of Terror, museum sejarah yang pernah menjadi kantor utama perwira elit SS selama rezim Nazi berkuasa (1933-1945), kami juga mengikuti sejumlah seminar dan bertemu dengan Direktur Eksekutif Dewan Pers Jerman (Deutscher Presserat), Roman Portack dan akademisi. Selain Berlin, kami juga mengunjungi gedung parlemen Nort Rhine-Westphalian dan Cologne yang dikenal dengan landmark katedralnya.
Sesi tentang penggunaan budaya pop oleh kelompok populis ekstrem kanan untuk menyerang kebebasan berbicara sangat menarik. Profesor manajemen media dan budaya Universitas Macromedia Berlin, Gernot Wolfram menjelaskan analisisnya tentang cara kelompok populis sayap kanan menjalankan propaganda dan strategi menghadapi mereka.

Suasana seminar International Academy for Leadership (Internationale Akademie für Führungskräfte atau IAF, yang digelar Friedrich Naumann Foundation (FNF) for Freedom dalam forum IAF di Theodor-Heuss-Straße 26, Gummersbach.
Gernot menyebutkan sebagian dari mereka merupakan kelompok terdidik yang kerap menggunakan teori konspirasi untuk menyulut emosi dan mengulang kejadian masa lalu, misalnya yang berhubungan dengan kejayaan suatu negara. Mereka masif menggunakan media sosial seperti TikTok untuk menyebarkan propaganda dengan menargetkan kalangan muda dengan cara-cara yang provokatif dan menghibur.
Menurut dia tidak ada solusi tunggal untuk mengatasinya. Salah satu strateginya menggunakan elemen-elemen budaya pop. Dia mengajak semua kalangan, termasuk jurnalis untuk kreatif dan tetap relevan dengan perkembangan teknologi demi mempertahankan demokrasi. Dalam sesi itu, Gernot juga mencontohkan sejumlah pemimpin populis yang menggunakan budaya pop dalam kampanye dan berhasil merebut suara dari kalangan muda. Media massa kata dia bisa mengatasi kelompok populis yang menggunakan berbagai propaganda dengan cara terus menjaga kepercayaan publik, kredibilitas, komitmen, dan keandalan melalui pemberitaan yang berkualitas dan independen.
Kami juga menemui Direktur Eksekutif Dewan Pers Jerman (Deutscher Presserat), Roman Portack untuk melihat situasi kebebasan pers dan persoalannya. Peringkat kebebasan pers Jerman naik dari 21 ke posisi 10 pada tahun ini dari 180 negara, berdasarkan indeks kebebasan pers RSF.
Dewan Pers Jerman dikenal sebagai badan yang bertanggung jawab menegakkan peraturan pers. Mereka memantau kepatuhan jurnalis terhadap etika yang yang ditetapkan melalui Kode Pers Jerman atau semacam kode etik jurnalis sebagai pedoman kerja jurnalistik. Dewan Pers bertanggung jawab menjaga reputasi pers Jerman, sekaligus melindungi kebebasannya. Semua orang bisa melaporkan atau mengadukan pemberitaan media massa kepada Dewan Pers.
Selama sejam lebih, Roman berbicara kepada kami. Dia menyebutkan ada sejumlah kasus pengaduan akibat pemberitaan media massa. Kasus paling rumit yang pernah ditangani Dewan Pers Jerman yakni saat beberapa surat kabar Jerman mencetak ulang sebagian atau seluruh gambar kartun yang memuat gambar Nabi Muhammad SAW untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap kebebasan pers pada 2006. Jyllands-Posten dari Denmark pertama kali memuat kartun tersebut dan memicu gelombang protes.
Roman menjelaskan ada metode dan kriteria dalam menangani berbagai pengaduan tentang pemberitan media massa di Jerman. Kriteria pengaduan misalnya mengacu pada beratnya pelanggaran, konsekuensi bagi orang yang terkena dampak pemberitaan, dan langkah untuk mitigasi terulangnya kasus serupa. Adapun sanksi yang diberlakukan bagi yang melanggar aturan atau kode pers Jerman, misalnya catatan yang sifatnya memberikan saran dan teguran.
Proses pemeriksaan (kasus) bisa berminggu-minggu, tergantung kasusnya. Isu agama dan kebebasan pers, kata Roman kembali mencuat pada 2012. Roman menunjukkan gambar sampul Majalah Titanic yang memicu kontroversi. Majalah Mingguan Jerman yang kerap memuat gambar satir itu menerbitkan gambar Paus Benediktus XVI dalam jubah dengan kotoran berwarna kuning di bawah pinggangnya. Di atas gambar tersebut tertulis Hallelujah in the Vatican: The leak has been found!.
Di sampul bagian belakang, gambar Paus muncul dari belakang dengan noda berwarna cokelat pada bagian pantatnya. Gambar itu memicu kontroversi dan menuai protes dari Vatikan dan para pendukungnya di Jerman. Majalah tersebut mendapatkan teguran.
Roman menjelaskan pasal dalam Kode Pers Jerman telah mewajibkan jurnalis menghormati hak privasi atau kehidupan pribadi seseorang, menghindari hal yang sensasional, menghindari penggambaran kekerasan dan kebrutalan yang sensasional, peliputan yang menyeluruh dan adil, dan menghormati martabat manusia. Dia mencontohkan sejumlah kasus pemberitaan yang diadukan ke Dewan Pers karena mengganggu hak privasi seperti kasus pembunuhan yang mencantumkan foto korban tanpa persetujuan keluarganya.

Penulis bersama peserta International Academy for Leadership (Internationale Akademie für Führungskräfte atau IAF, digelar Friedrich Naumann Foundation (FNF) for Freedom dalam forum IAF. di Theodor-Heuss-Straße 26, Gummersbach.
Selain itu, Roman menyinggung penggunaan kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (AI) oleh sejumlah media massa. Contohnya ada surat kabar yang memuat gambar makanan menggunakan AI tanpa menyertakan keterangan. Ada juga wawancara dengan pembalap mobil, Michael Schumacher menggunakan AI.
Dewan Pers Jerman menegur karena menyesatkan pembaca. Penggunaan AI harus disertai dengan transparansi dan tanggung jawab media massa. Penggunan AI harus melewati pemeriksaan tim editorial sebelum dipublikasikan. Dewan Pers telah menyusun pedoman penggunaan AI, termasuk penggunaan gambar, simbol, dan ilustrasi.
Konstitusi yang kuat dan dan peradilan yang independen mendukung jurnalisme di Jerman. Di negara tersebut tidak ada jurnalis yang dipenjara karena media tempat dia bekerja menerbitkan pemberitaan yang bernada kritis. Jerman merupakan pelopor dalam penegakan dan perluasan hukum pidana internasional.
Kepatuhan terhadap standar etika didorong oleh Dewan Pers, badan sukarela yang mengatur media cetak dan online. Media Jerman mempunyai tradisi panjang dalam mengkritik pemerintah dan oposisi. Independensi media publik dilindungi undang-undang. Peran media massa sebagai pilar demokrasi diterima secara luas oleh para politisi, kecuali kelompok populis sayap kanan.
Penggunaan AI juga dibahas dalam kunjungan kami ke kantor lembaga penyiaran internasional Deutsche Welle atau DW di Berlin. Kami melihat dapur redaksi untuk memproduksi karya jurnalistik dan ruangan utuk siaran. Koordinator topik dan strategi untuk konten online, TV, dan media sosial DW, Uta Tofern menyatakan kantornya punya tim melalui departemen khusus untuk mengecek segala yang berhubungan dengan AI sebagai kekuatan yang disruptif.
DW menurut dia berkomitmen pada jurnalisme yang diproduksi manusia secara bertanggung jawab dan menekankan pada pemeriksaan fakta serta aturan redaksi. Berpikir skeptis, curiga terhadap apapun sangat penting supaya tidak mudah tertipu dengan informasi palsu. Berita-berita palsu sangat berbahaya, contohnya pada kasus propaganda Rusia.
Diskusi dan Debat Interaktif Peserta
Diskusi kelompok, tanya jawab, dan debat menjadi sesi favorit saya. Sesi ini menekankan pada kerja sama kelompok, kreativitas, dan saling menghargai pendapat. Saya kira para fasilitator yang mumpuni dan terlatih berhasil membawa kami pada suasana diskusi yang menyenangkan dan bermakna. Fasilitator menyelipkan permainan yang memancing kami untuk berpikir misalnya mana yang lebih penting, logika atau kreativitas. Kami juga memilih hal-hal yang disukai sesuai argumentasi masing-masing, misalnya mengapa memilih menonton film, membaca buku maupun mengunjungi museum.
Fasilitator kami berasal dari negara yang beragam. Ada Syed Raza dari Pakistan, Ivabelle Arroyo-Ulloa dari Meksiko, dan Kylie Hatton dari Afrika Selatan. Ivabelle menekankan agar semua orang berbicara, dan mengutarakan pendapatnya. Sejak awal dia menyampaikan agar peserta tak terlalu memusingkan Bahasa Inggris dengan dialek yang berbeda-beda.
Pada malam pertama kami dibagi dalam kelompok secara acak dalam sebuah permainan yakni mengenal lokasi seminar dengan mengelilingi ruangan maupun luar ruangan. Ini supaya kami tahu di mana dapur, mesin cuci, bar, ruangan-ruangan untuk diskusi, menyapa resepionis dan peracik minuman di bar. Saya suka dengan desain bangunan akademi yang serba kotak-kotak dan tampak artistik. Ruangan dengan nama-nama filsuf dan pemikir berpengaruh bagi demokrasi, kebebasan, dan kemanusiaan. Deretan nama itu yakni Hannah Arendt, Ralf Dahrendorf, Naumann, dan Karl Popper juga menarik.
Yang paling menyentuh adalah sesi kelas yang menghadirkan Trisha Lord, pelatih sekaligus konsultan dan fasilitator pengembangan dan kepemimpinan internasional. Trisha secara daring (zoom), mengajak kami untuk mau mendengarkan orang lain, menghormati kehadiran orang, membangun saling keterbukaan dan kepercayaan antar-peserta. Peserta berpasangan, duduk berhadapan dan saling mengenal satu sama lain. Sesi ini membuat kami rileks dan membangun harapan untuk bekerja sama dalam mengatasi persoalan.
Sesi-sesi presentasi di kelas selepas diskusi kelompok membuat kami terlatih untuk memperkuat argumentasi, menjawab pertanyaan, dan berdebat. Kami presentasi dengan menggunakan medium yang berwarna, bisa dalam bentuk lukisan, video, dan coretan di kertas plano. Dalam satu sesi, kami dibagi dalam kelompok sesuai negara kawasan lalu menjawab beberapa pertanyaan. Saya presentasi bersama peserta dari Filipina, Thailand, Malaysia. Korea Selatan turut dimasukkan dalam kelompok kami.
Masing-masing dari kelompok kami kebagian presentasi, menjelaskan bagaimana negara mengatur media, praktek baik, pengalaman buruk, bagaimana informasi dibagikan dan dikontrol di negara masing-masing, bagaimana audiens mempersepsikan media massa, dan apa saja persamaan maupun perbedaan di setiap negara. Dalam sesi lainnya kami dibagi dalam kelompok secara acak. Kelompok saya terdiri dari jurnalis Bulgaria dan Armenia serta politisi muda Estonia dan profesor studi jurnalisme dari Georgia. Kami membahas hal-hal yang tabu dibicarakan dan mengganggu kebebasan berpendapat.
Kami juga menonton film bertema politik, yakni Our Brand is Crisis yang mengisahkan tentang konsultan politik Amerika Serikat yang disewa politisi Bolivia. Ada juga film berjudul dokumenter Influence, berpusat pada Lord Tim Bell, pendiri perusahaan multinasional Bell Pottinger yang merancang kampanye untuk politisi dan ditator. Kampanye itu memicu perpecahan rasial di Afrika Selatan.
Hari terakhir diisi dengan merangkai pohon Natal bersama fasilitator dan peserta. Kami yang punya beragam latar belakang keyakinan, budaya, dan kebiasaan-kebiasaan dari masing-masing negara memasang lampu-lampu hiasan berbentuk bola berpita putih dan bintang. Pohon Natal menjadi gemerlap dan semarak.
Setelah itu kami menyusun refleksi individu, mengambil pelajaran dari semua sesi untuk diterapkan di negara masing-masing, dan presentasi. Saya membuat video yang memuat situasi kebebasan pers Indonesia yang tidak mudah dan upaya apa saja untuk mengatasinya. munculnya ketidakpercayaan terhadap media massa akibat disinformasi dan misinformasi. Tentu saja nilai-nilai liberalisme yang penting bagi kerja jurnalis yakni kebebasan sipil, demokrasi, penghormatan terhadap HAM dan keberagaman, serta keadilan sangat penting untuk dipertahankan dengan beragam strategi. Seperti kata Bettina...
...orang-orang yang percaya pada prinsip liberalisme perlu terus bergandengan tangan, memperkuat kerja sama, persahabatan, berjejaring, dan saling percaya untuk menekan balik situasi yang anti-demokrasi dan melanggar kebebasan sipil maupun HAM.