DE

Perubahan Iklim
Kebijakan EBTKE di Indonesia

FGD II Renewable Energy and Climate Change
Group Photo FGD II Renewable Energy Santika
Group Photo FGD II Renewable Energy Santika FNF Indonesia © FNF Indonesia

JAKARTA - Sebagai upaya mempromosikan gagasan energi baru dan energi terbarukan untuk mahasiswa di Jakarta, Friedrich Naumann Foundation bersama dengan Freedom Institute menggelar kembali FGD II energi baru dan terbarukan di Hotel Santika pada tanggal 24 Agustus 2016. 

Billy Aries selaku moderator pada FGD hari ini, membuka acara dengan menekankan pentingnya kebijakan EBTKE di Indonesia untuk memenuhi permintaan listrik nasional yang bertambah signifikan dengan seiringnya pertumbuhan penduduk. Billy juga menyampaikan bahwa terdapat dua kendala utama dalam mengimplementasikan proyek-proyek EBTKE yaitu keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah dan hambatan yuridis untuk mengelola dan memproduksi listrik. 

Di sesi pertama Bapak Syaikul Islam, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, menekankan bahwa energi baru dan terbarukan tidak dapat dipandang sekedar energi alternatif saja seperti tenaga solar, tenaga angin, tenaga gelombang laut dan tenaga geothermal. Tetapi EBTK juga mencakup energi baru seperti nuklir, shell gas dan gas metana batubara(CBM). 

Kemudian Pak Syaikul Islam membeberkan permasalahan kunci yang menghambat berlangsungnya proyek pembangkit-pembangkit listrik yang menggunakan energi baru dan terbarukan. Beliau menjelaskan sebagian besar energi terbarukan adalah energi intermitten. Dengan kata lain sumber energi seperti angin dan cahaya matahari tidak dapat memasok secara konstan, sehingga energi terbarukan dari tenaga surya dan angin harus di hybrid dengan energi fosil seperti gas dan diesel. 

FGD II Santika Renewable Energy
Sesi Tanya Jawab Peserta © FNF Indonesia

Permasalahan kedua meliputi nilai ekonomis energi terbarukan. Untuk saat ini menghasilkan listrik melalui energi terbarukan tidak ekonomis, karena energi fosil biaya produksinya jauh lebih rendah. Ditambah lagi energi terbarukan harus disubsidi oleh pemerintah agar harganya dapat berkompetisi di pasar. Di akhir sesi Pak Syaikul Islam memberikan harapan bahwa ada PLTA yang biaya produksinya rendah dan harga listriknya dapat bersaing dengan pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi konvensional. 

Di sesi kedua narasumber dari Partei Demokrat M. Husni Thamrin menerangkan bahwa sistem pengelolaan energi terbarukan yang belum masikmal dan tugas antara lintas sekor kementerian masih sering tumpang tindih. Menyangkut hali ini beliau menyayangkan bahwa sampai saat ini belum ada sistem satu pintu untuk investasi energi terbarukan yang cenderung mebuat investor acuh tak acuh untuk mengucurkan dana investasi. Di samping itu Pak Thamrin tidak setuju degan adanya ide untuk membangun reaktor tenaga nuklir di Indonesia, karena situasi geografis Indonesia yang terletak di daerah rawan gempabumi dan contoh seperti insiden reaktor nuklir Fukushima yang menimbulkan kerugian ekonomi yang relatif besar untuk Jepang. Untuk ke depannya Pak Thamrin menyarankan harus ditetapkan road map yang transparan dengan tahapan-tahapan yang rinci dalam melakukan konservasi energi maupun mengelola energi baru dan terbarukan. 

Sesi penyamapaian materi terakhir diisi oleh dosen LSPR, Ibu Garcia Paramitha. Dalam sesi ini dijabarkan kesepakatan-kesepakatan internasional yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan domestik tentang energi di Indonesia. Terdapat pelbagai perjanjian multilateral yang sudah disepakati Indonesia di ranah internasional antara lainnya subsidi biofuel tahun 2009, blue print energy nasional dan INDC COP 21. Tetapi pada kenyataanya belum ada tahapan-tahapan detail bagaimana Indonesia mau mengurangi emisi 29% secara BAU yang dijanjikan oleh Presiden. Sebagai solusi dalam rangka meningkatkan efektivitas pengelolaan EBTKE, Ibu Garcia menekankan pentingnya keterlibatan masyarakt sipil dalam membantu negara untuk mereduksi emisi melalui sektor energi.