International Academy for Leadership
Menggali Diri, Memandu dengan Hati: Sebuah Perjalanan Fasilitasi di IAF

Penulis beserta peserta IAF lainnya berjalan di kawasan seminar (Credit: Chelse Caballero)
Sebelum menjadi fasilitator, saya harus terlebih dahulu mengamati diri sendiri; bagaimana saya merespons adalah sesuatu yang perlu saya sadari
Pernyataan ini mengejutkan saya saat sesi pembuka seminar “Moderation: Facilitation and Programme Design” pada Senin, 15 April 2024, di Theodor Heuss Academy, Gummersbach, Jerman. Sebelumnya, saya berpikir bahwa menjadi fasilitator sepenuhnya berfokus pada peserta. Namun kenyataannya, untuk dapat memimpin orang lain dengan baik, saya harus terlebih dahulu memahami diri sendiri, bagaimana saya merespons, dan apa peran saya dalam kelompok.
Sebagai bagian dari program International Academy for Leadership (IAF), saya bergabung dengan 28 peserta dari berbagai negara, dipandu oleh fasilitator Marike Groenewald dan Clinton du Preez dari Anew, sebuah firma konsultasi ternama dari Afrika Selatan. Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas anggota organisasi mitra FNF dalam fasilitasi serta desain dan implementasi program pelatihan
Awal yang Tak Terduga: Perjalanan yang Dimulai dengan Refleksi
Akibat pengalihan penerbangan, saya dan beberapa peserta lainnya tiba terlambat dan melewatkan hari pertama di IAF Gummersbach. Cuaca dingin di Gummersbach memberi saya waktu untuk merenungkan keterlambatan ini—bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai kesempatan untuk mempersiapkan perjalanan ini dengan lebih terbuka.
Sesi “Arriving Properly” menjadi salah satu bagian favorit saya dalam perjalanan seminar ini. Saya tidak pernah menyadari betapa seringnya saya tiba di suatu tempat secara fisik, tetapi pikiran saya masih terjebak dalam pekerjaan, tanggung jawab, atau emosi yang belum selesai. Latihan sederhana ini mengingatkan saya untuk bertanya, “Siapa saya?” dan “Bagaimana respons saya?”
“Arriving properly” berarti hadir sepenuhnya, bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental dan emosional.
Sesi ini dimulai dengan refleksi pribadi, kemudian fasilitator membagikan lembar pertanyaan panduan yang dirancang untuk menggali perasaan dan pemikiran kami. Diiringi alunan musik dari daftar putar lagu Discord, suasana menjadi lebih tenang dan mendalam. Saya pun semakin menyadari bagaimana musik dapat menciptakan suasana yang mendukung, mempererat koneksi antar peserta, dan membuka ruang refleksi yang lebih dalam. Hal ini bukan sekadar latihan awal, tetapi sebuah pengingat bahwa kehadiran penuh dan keterbukaan adalah kunci dalam setiap proses fasilitasi.

Penulis mengikuti sesi "Container" (Credit: Participant Resources 15.04.2024/IAF Gummersbach)
Membangun Dasar: Nilai, Kepercayaan, dan Kesadaran Diri
Langkah pertama dalam fasilitasi adalah menciptakan wadah bersama atau kontainer—seperangkat nilai dan prinsip yang akan menjadi pedoman selama seminar. Nilai-nilai ini mencakup berbagi pengalaman memberi nasihat, kepercayaan, empati, keberanian untuk hadir, menerima ketidakpastian, dan mendengarkan dengan rasa hormat. Dengan menetapkan ekspektasi ini, kami menciptakan ruang aman untuk menjadi rentan, berbagi secara terbuka, dan terlibat dalam dialog yang otentik.

Sesi "Container" (Credit:Participant Resources 15.04.2024/IAF Gummersbach)
Dalam sesi lainnya, kami membuat peta global tentang berbagai jenis pertemuan yang terjadi di dunia, berdasarkan benua asal kami. Awalnya, diskusi terasa membingungkan, tetapi seiring waktu saya menyadari esensi dari latihan ini: kolaborasi. Tujuan utamanya bukan hanya untuk menyusun peta, tetapi juga untuk belajar bekerja dalam tim, menerima perspektif yang berbeda, dan membangun keterampilan komunikasi lintas budaya dan antarnegara.

Peserta seminar menggambar "Peta Global" (Credit: Participant Resources 15.04.2024/IAF Gummersbach)
Perkenalan Jurnal Refleksi: Menulis untuk Menemukan Diri Sendiri

"Book of Thoughts" dan pemandangan dari Theodor Heuss Academy (Credit: Dokumentasi pribadi penulis)
Saat pertama kali membuka A BOOK OF THOUGHTS: An IAF Journal, saya ragu. Halaman-halaman kosongnya terasa sedikit membingungkan—apa yang seharusnya saya tulis? Namun, fasilitator mendorong kami untuk mulai dengan hal sederhana: mencatat hal-hal yang menarik perhatian. Seiring waktu, jurnal ini berubah dari sekadar buku catatan menjadi ruang refleksi.
Saya tidak hanya mencatat apa yang saya pelajari, tetapi juga bagaimana saya merasakannya, bagaimana saya hadir, dan bagaimana saya berkembang. Beberapa pertanyaan terasa ringan: Bagaimana perasaan saya berada di sini malam ini? Namun, ada juga yang menantang saya untuk menggali lebih dalam: Pertanyaan apa yang saya sadari dalam perjalanan saya sebagai fasilitator? Perlahan, saya mulai menerima proses ini, menggunakan jurnal sebagai cara untuk melambat dan memahami pengalaman dan diri saya dengan lebih baik.
Kekuatan Fasilitasi: Lebih dari Sekadar Memimpin Diskusi
Seminar ini mengajarkan saya bahwa Being—kehadiran yang autentik, membangun kepercayaan, dan menciptakan ruang aman—sama pentingnya dengan Doing—menyusun sesi, mengelola dinamika kelompok, dan mencapai tujuan.
Apa yang membuat fasilitasi benar-benar efektif? Kemampuan membaca ruangan adalah kuncinya. Lebih dari sekadar mengikuti agenda, fasilitasi mengharuskan kita untuk memahami dinamika kelompok, mendengarkan secara aktif, dan merespons dengan empati. Terkadang, momen paling bermakna justru muncul ketika kita berani beradaptasi dan membiarkan proses berkembang secara alami
Kami juga mendalami Empat Pilar Fasilitasi—orang, konten, hasil, dan proses. Saya menyadari bahwa selama ini saya lebih fokus sebagai Organizer, mengutamakan struktur dan agenda. Namun, fasilitasi yang efektif adalah tentang menyeimbangkan semua elemen tersebut untuk menciptakan ruang yang terstruktur tetapi tetap bermakna dan membangun keterlibatan peserta.
Lebih lanjut, kami mengeksplorasi Delapan Gaya Fasilitasi, mulai dari Enthusiast yang penuh energi hingga Provocateur yang menantang pemikiran. Sebagai seseorang yang menyukai humor dan joy dalam fasilitasi, saya sadar bahwa saya harus menyesuaikan gaya saya dengan audiens yang berbeda.
Berikut Delapan Gaya Fasilitasi yang masing-masing memiliki kelebihan dan tantangan:
- Empath – Memahami konteks dan perasaan orang lain dengan baik, tetapi terkadang terlalu sensitif sehingga sulit mengambil keputusan objektif.
- Enthusiast – Membawa energi dan semangat tinggi ke dalam sesi, tetapi berisiko terlihat tidak tulus jika tidak diseimbangkan dengan kedalaman konten.
- Peacemaker – Mengutamakan keharmonisan dalam kelompok, tetapi cenderung menghindari konfrontasi atau mengambil sikap yang tegas.
- Expert – Menguasai materi secara mendalam dan memberikan wawasan yang kaya, tetapi bisa kehilangan keterhubungan dengan peserta jika terlalu fokus pada konten.
- Captain – Berorientasi pada efisiensi dan pencapaian tujuan, tetapi terkadang kurang fleksibel dalam menghadapi perubahan atau dinamika kelompok.
- Innovator – Membawa ide-ide baru dan segar ke dalam diskusi, tetapi bisa terlalu fokus pada perubahan tanpa mempertimbangkan kesiapan peserta.
- Organizer – Terampil dalam mengelola logistik dan memastikan struktur acara berjalan baik, tetapi bisa mengabaikan aspek keterhubungan dan interaksi antarpeserta.
- Provocateur – Menantang pemikiran peserta untuk berpikir kritis dan keluar dari zona nyaman, tetapi tidak selalu memastikan adanya solusi atau penyelesaian konflik.
Tantangan: Menyesuaikan Gaya Fasilitasi Saya dengan Audiens Berbeda
Fasilitasi bukan pendekatan satu ukuran untuk semua. Di pengalaman saya sendiri bermitra dengan pemerintah, saya perlu menjaga profesionalisme, memastikan struktur yang jelas, dan berorientasi pada hasil. Dalam konteks ini, saya lebih banyak menggunakan gaya Organizer atau Expert, yang menekankan kejelasan informasi dan efisiensi. Sebuah humor ringan bisa mencairkan suasana, tetapi harus tetap menjaga kredibilitas dan kepercayaan audiens.
Di sisi lain, bermitra dengan jurnalis muda dan mahasiswa lebih menyukai sesi yang interaktif dan eksploratif. Bersama mereka, saya menggunakan gaya Enthusiast, menciptakan ruang untuk diskusi yang lebih dinamis, terbuka, dan relevan dengan dunia mereka. Mengelola perbedaan ini menjadi tantangan sekaligus kesempatan untuk mengembangkan fleksibilitas dalam gaya fasilitasi saya.
Refleksi: Gummersbach yang Tenang dan Mendalam, Berlin yang Dinamis dan Penuh Eksplorasi
Gummersbach menjadi tempat yang ideal untuk pembelajaran mendalam dan perjalanan menemukan diri. Jauh dari gangguan, saya larut dalam diskusi, refleksi, dan pencarian akan gaya fasilitasi yang paling sesuai bagi diri saya Bahkan momen-momen sederhana—menulis jurnal, menikmati makan bersama, berbagi pemikiran dalam thinking pairs, hingga merayakan keberagaman di Cultural Nights, menjadi pengingat berharga tentang pentingnya hadir sepenuhnya dan seni mendengarkan dengan aktif.

Culture Night 2024 (Credit: Participant Resources 19.04.2024/IAF Gummersbach)
Sebaliknya, Berlin menghadirkan energi dan eksplorasi yang begitu hidup. Atmosfernya yang dinamis membuka perspektif baru tentang fasilitasi, dari diskusi mengenai Tren Pembelajaran dan Pertemuan (Gathering) bersama Linus Stieldorf hingga Visual Facilitation Workshop dengan Wiebke Koch.

Workshop Fasilitasi Visual (Credit: Participant Resources 22.04.2024/IAF Gummersbach)
Salah satu sesi yang paling membekas bagi saya adalah Psychological Safety: Creating Spaces for Honest Dialogue bersama Myriam Hadnes. Saya tersadar bahwa menciptakan ruang yang aman bagi orang untuk berbicara bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga bagaimana kita mendengarkan, bagaimana kita bertanya, dan bagaimana kita membuat orang merasa dihargai.
Sesi bersama Katie Guller, “Facilitating & Moderation – Insights from My Heart”, juga memberikan sudut pandang baru. Salah satu pelajaran terbesar yang saya ambil adalah pentingnya kesadaran diri. Sebelum menjadi fasilitator atau moderator, kita perlu memahami gaya komunikasi kita sendiri, bagaimana kita merespons di bawah tekanan, serta bagaimana kepribadian kita memengaruhi suasana dalam sebuah diskusi. Saya belajar bahwa fasilitasi bukan hanya soal teknik, tetapi juga soal keautentikan dan fleksibilitas.
Selain sesi di Berlin, saya juga mendapatkan kesempatan untuk kunjungan singkat ke Cologne. Hal ini semakin memperkaya pemahaman saya tentang sejarah, budaya, dan melatih beberapa di antara kami untuk memfasilitasi kegiatan luar ruangan berkelompok.

Group Design Challenge (Credit: IAF Gummersbach)
Sesi terakhir dari seminar ini adalah Learning by Doing: Group Design Challenge oleh Petra Franke. Saya bersama grup diberikan tantangan untuk merancang program IAF dengan topik Ekonomi Liberal. Dalam Group Design Challenge ini, saya mempelajari pentingnya merancang program yang sesuai dengan audiens dan tujuan yang jelas, serta menggunakan elemen visual untuk memudahkan pemahaman. Mulai dari merubah judul, memperhatikan audiens, hingga mempraktikkan visual fasilitasi, saya belajar bahwa desain program harus terstruktur dengan baik dan mudah dipresentasikan. Penggunaan alat visual dalam fasilitasi sangat membantu untuk menyederhanakan informasi kompleks, membuatnya lebih mudah dipahami, dan menjaga audiens tetap terlibat dalam proses. Akhirnya, design grup kami terpilih sebagai salah satu yang terbaik.
Kesimpulan: Perjalanan Pertumbuhan dan Transformasi

Foto grup (Credit: IAF Gummersbach)
Seminar ini tidak hanya mengubah cara saya memahami fasilitasi, tetapi juga bagaimana saya melihat peran saya sebagai Program Officer. Kini, saya tidak hanya mengelola acara, tetapi juga mendesain pengalaman yang bermakna.
Sebagai seseorang yang bekerja di balik layar, saya menyadari bahwa fasilitasi bukan tentang memiliki kendali penuh, tetapi tentang menjembatani perspektif dan menciptakan ruang untuk dialog yang bermakna. Bermakna juga tidak selalu berkaitan dengan budget. Dengan sumber daya yang terbatas, program bisa meninggalkan kesan mendalam dengan perubahan-perubahan kecil, seperti merancang diskusi yang terstruktur dengan baik atau kegiatan adanya reflektif di dalamnya.
Setelah seminar, saya mulai mencoba perubahan kecil dalam rapat tim dua mingguan. Saya memperkenalkan praktik "arriving properly"—mengajak semua anggota tim untuk benar-benar hadir, mendengarkan satu sama lain dengan lebih sadar. Awalnya terasa canggung, ada jeda hening yang tidak biasa, tetapi perlahan, suasana berubah. Percakapan berubah, setiap orang mulai lebih terlibat.
Seminar ini bukan sekadar tentang fasilitasi, tetapi juga memberi saya momen untuk melambat dan mengenali diri sendiri. Di tengah rutinitas yang sering kali sibuk dan penuh tuntutan, saya belajar bahwa fasilitasi bukan hanya soal mengelola program, tetapi juga tentang menciptakan ruang bagi gagasan, dialog, dan keterhubungan yang lebih dalam.
Terima kasih kepada FNF Indonesia dan IAF atas pengalaman luar biasa ini yang bukan hanya membuka wawasan baru, tetapi juga membantu saya melihat setiap pertemuan sebagai kesempatan untuk belajar, terhubung, dan tumbuh bersama. Harapannya, saya dapat terus membawa semangat ini ke dalam setiap interaksi dan program yang saya jalankan.

Penulis di Theodor-Heuss-Akademie di Gummersbach, Jerman (Credit: IAF Gummersbach)
Ichi-go ichi-e philosophy: one meeting, one moment in your life that will never happen again”. We could meet again, but you have to praise in this moment because in one year, we”ll have a new experience, and we will be different people and will be bringing new experiences with use, because we are also changed