DE

Smart City
Mengurai Kemacetan dan Bermobilisasi Pintar dengan Pembayaran Nir-Tunai

Public Discussion Smart Mobility and Cashless Society, Cafe Ruang Tengah, 4 November 2017
Public Discussion Smart Mobility and Cashless Society, 4 November 2017
Suasana pada Public Discussion Smart Mobility and Cashless Society, 4 November 2017 © FNF Indonesia

Jakarta adalah rumah dari kegiatan masyarakat yang berada di Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi dengan total populasi sekitar 30 juta jiwa serta diperkirakan memiliki pangsa pasar masyarakat komuter sebesar 2,43 juta orang per hari. Tingginya angka populasi tanpa adanya fasilitas mobilisasi yang memadai adalah salah satu faktor yang menyebabkan masalah kemacetan di ibu kota.

Perencanaan kota yang mengedepankan pemanfaatan teknologi, dalam hal ini khususnya berkaitan dengan konsep smart  mobility, adalah sebuah solusi kemacetan dan mobilisasi di Jakarta. Mobilitas cerdas yang mengedepankan sistem pergerakan seminim dan secepat mungkin dalam pemenuhan kebutuhannya hadir dalam teknologi transportasi daring seperti Gojek, Grab, ataupun Uber.

Pemesanan daring dan pembayaran secara nir-tunai yang aman, nyaman dan efisien menjadi poin penting dari mobilisasi pintar pada transportasi daring.

Public Discussion Smart Mobility and Cashless Society, 4 November 2017
Public Discussion Smart Mobility and Cashless Society, 4 November 2017 © FNF Indonesia

Penggunaan pembayaran nir-tunai dalam aplikasi transportasi daring pada pelaksanaannya sangat erat dengan faktor insentif, sebagaimana dipaparkan oleh Moderator Rofi Uddarojat dalam membuka Diskusi Publik pada Sabtu, 4 November 2017 di Café Ruang Tengah, Sarinah.

Pada paparan pertama, Narasumber dari IMPACT  (Initiative for Market Reform and Policy Action), yaitu Muhamad Iksan memberikan argumen bahwa semakin maju ekonomi suatu negara maka akan berbanding lurus dengan kemudahan bertransaksi nir-tunai; Indonesia berada pada kategori Medium dalam kemudahan bertransaksi. Disebutkan kekurangan dalam metode pembayaran nir-tunai menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Tingginya kepemilikan smart-phone sebesar 47% dari 91% pemilik mobile-phone sesungguhnya adalah kesempatan baik bagi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Namun, adanya faktor consumer’s barriers dan regulatory barriers juga akan membawa tantangan tersendiri. Regulasi yang membatasi jumlah dan harga transportasi daring dapat menyebabkan kesulitan dalam perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Disebutkan Iksan, pembentukan regulasi atau kebijakan publik yang tepat pada akhirnya harus tetap mengedepankan dampak jangka panjang dan faedahnya kepada orang banyak.

Narasumber berikutnya yang berasal dari Asosiasi Driver Online, Christiansen Wagey, menyakini keberadaan transportasi daring dalam mendukung terciptanya mobilitas pintar dan mengurangi kemacetan di Jakarta. Dari kesaksian pengguna disebutkan bahwa transportasi daring adalah moda transportasi yang efisien dan hemat karena pengguna tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk parker dan reparasi kendaraan. Sehubungan dengan metode pembayaran nirtunai pada transportasi daring, pemaparan mengenai perbedaan mekanisme penarikan uang e-wallet pada masing-masing aplikasi memberikan penjelasan atas kesulitan pemesanan transportasi daring oleh pengguna. Disebutkan, pengemudi Grab memerlukan waktu seminggu dalam proses penarikan nominal e-wallet-nya sehingga ada banyak pengemudi Grab yang enggan untuk mengambil pesanan karena kebutuhan pemenuhan biaya operasional sehari-harinya. Christiansen menyebutkan perlunya integrasi pembayaran di dalam aplikasi sehingga semua transaksi dapat dilaksankan nir-tunai. Dari sisi insentif, Christiansen mengakui adanya potongan harga mendorong pengguna untuk melakukan pengisian kredit e-wallet, sedangkan adanya poin yang dapat ditukarkan pengemudi setiap kali menyelesaikan transaksi nir-tunai juga menjadi insentif tersendiri bagi pengemudi.

Pada paparan narasumber ketiga, Diovio Alfath dari Cllimate Institute dan FNF Indonesia, materi  mengenai kondisi kemacetan dan perlunya mobilitas pintar di Jakarta menjadi fokus utama. Level kemacetan di Jakarta dengan indeks keterlambatan sebesar 57,25 menit  harus diurai dengan berbagai upaya penaggulangan; salah satu solusi yang dapat diambil adalah implementasi smart city,  khususnya mobilitas cerdas yang berfokus pada mobilitas individual. Transportasi daring sendiri adalah bagian dari mobilitas cerdas. Berdasarkan survey yang telah narasumber lakukan dan tertuang dalam publikasi terkait Smart Mobility; 98.3% setuju bahwa transportasi daring mempermudah mobilitas, 92% setuju bahwa mengantarkan lebih cepat, 90.8% setuju bahwa transportasi daring lebih nyaman dibanding konvensional, 34.4% setuju bahwa kehadiran transportasi daring menghindari kemacetan tapi tidak mengurangi kemacetan. Melalui survey, diketahui bahwa pemahaman responden akan smart mobility masih kurang dari 50%. Dari berbagai data dan permasalahan yang ada, narasumber memberikan rekomendasi untuk dapat merubah paradigma pengemudi transportasi daring yang awalnya bisnis menjadi solusi kemacetan dengan mengedepankan ride-sharing dan on-demand ride, diperlukan juga rangkulan dan koordinasi yang baik dari pemerintah kepada pihak swasta, serta perlu adanya regulasi yang tidak mematikan kompetitivitas dan inovasi pelaku ekonomi di sektor transportasi.

Public Discussion Smart Mobility and Cashless Society, 4 November 2017
Sesi Tanya Jawab pada Public Discussion Smart Mobility and Cashless Society © FNF Indonesia

Di akhir diskusi, bahasan terkait kemungkinan transaksi nir-tunai di kota-kota kecil, pembebanan biaya isi ulang kartu pembayaran nir-tunai, dampak teknologi pembayaran nir-tunai pada tenaga kerja, dan cara edukasi serta mendorong penggunaan pembayaran nir-tunai pada masyarakat menengah-bawah mewarnai sesi tanya-jawab. Diskusi yang merupakan lanjutan dari acara serupa pada 22 Juli 2017 lalu ditutup dengan sesi makan siang dan diskusi informal lanjutan diantara partisipan, narasumber, dan moderator.