DE

Perubahan Iklim
Menutup Mata untuk Polusi Udara

Kota Jakarta yang dihuni oleh sekitar 21 juta penduduk merupakan salah satu kota megapolitan yang memiliki indeks kualitas udara terburuk di dunia berdasarkan data yang dirilis oleh perusahaan Airvisual. Fakta terkait rendahnya kualitas udara di Jakarta juga diperkuat dengan hasil pantauan lapangan yang dilakukan oleh NGO Greenpeace Indonesia yang membeberkan bahwa dalam waktu satu tahun di Jakarta hanya terdapat 26 hari dimana level indeks udara berada dalam kategori baik.

Tingkatan pencemaran udara yang tidak baik disebabkan oleh tingginya tingkat penggunaan kendaraan bermotor di ibu kota dan polutan-polutan yang dihasilkan oleh aktivitas Pembangkit Tenaga Listrik Uap (PLTU). Polutan-polutan yang harus diwaspadai dampaknya terhadap kesehatan adalah partikulat PM 10 dan partikulat PM 2.5. Partikulat debu yang berada di udara dapat masuk ke tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan menyebabkan pelbagai permasalahan kesehatan seperti penyakit jantung dan paru-paru. Bahkan sebuah riset yang dilakukan bersama oleh Universitas Harvard dan Universitas Kolumbia menunjukan polutan PM 2.5 sebagai penyebab kematian dini.

Walaupun bermacam-macam riset-riset kredibel telah dilakukan dan informasi tentang polusi udara sudah disampaikan kepada pihak yang berwenang, perubahan untuk memperbaiki indeks kualitas udara di kota Jakarta belum terlihat terlalu signifikan. Kopaja-kopaja masih menggunakan mesin bermotor yang sudah tidak layak pakai dan terlihat bebas berkeliaran di jalan protokol mengeluarkan asap hitam dari ujung pipa knalpot yang tidak hanya merugikan kesehatan pejalan kaki, tetapi juga penumpang di dalamnya. Solusi terhadap permasalahan kemacetan yang dijanjikan turun-temurun oleh gubernur Jakarta sampai saat ini masih menjadi sebuah dongeng tidur anak kecil. Bertambahnya pengunaan kendaraan pribadi yang lebih cepat dari peningkatan ruas jalan tidak hanya menurunkan laju rata-rata berkendara dan memperparah kemacetan, tetapi juga berkontribusi secara negatif terhadap kualitas udara di Jakarta.

Polusi Udara dan Kota Jakarta
© Photo by flikr

Ukuran-ukuran polutan yang tidak terlihat oleh mata manusia adalah salah satu alasan penting kenapa permasalahan polusi udara tidak timbul ke permukaan dan ditindaklanjuti secara optimal. Bayangkan apabila polutan-polutan seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2), Ozon (O3) dan partikel debu (PM10&PM2.5) memiliki warna-warna yang mencolok dan bertahan secara konsisten di lapisan udara troposfer. Efek tersebut tidak akan hanya mempengaruhi jarak pandang warga kota secara drastis, tetapi juga akan berdampak terhadap perubahan penilaian subjektif kita terhadap urgensitas sebuah isu. Alhasilnya tingkat toleransi kita terhadap sebuah isu akan berubah dan melihat isu polusi udara sebagai permasalahan yang harus ditindaklanjuti dengan segera.

Permasalahan selanjutnya yang membuat isu polusi udara diabaikan adalah pandangan bahwa polusi udara bukan dilihat sebagai penyebab kematian atau penyebab penyakit. Secara medis polusi udara memang tidak dihitung sebagai penyebab kematian, karena polusi udara bukanlah sebuah penyakit. Dalam konteks ini, polusi udara hanya dilihat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya sebuah penyakit. Sebagai contoh sederhana, penyakit jantung belum tentu disebabkan oleh polusi udara dan bisa disebabkan oleh konsumsi makanan yang berlemak (kolesterol). Keterikatan langsung polusi udara terhadap penyakit jantung dan penyakit pernapasan masih terkesan samar, sehingga potensi bahayanya terhadap kesehatan masih dipandang sebelah mata.

Selain itu, ada beberapa orang yang beranggapan bahwa polusi adalah bagian dari eksistensi pembangunan manusia. Berkaca pada masa industrialisasi di Eropa dimana motor pembangunan adalah penggunaan batu bara secara masif. Pada saat itu untuk membangun sebuah negara yang kokoh, sektor lingkungan harus mengalah untuk memperbaiki hajat hidup orang banyak. Akan tetapi situasi dimana negara harus memilih antara ekonomi atau lingkungan sudah tidak lagi relevan di era globalisasi ini. Dengan adanya perkembangan teknologi ramah lingkungan, praktik-praktik terbaik untuk mengelola transportasi dan insentif-insentif yang merubah perilaku konsumtif energi maka leap-frogging dapat dilakukan di Jakarta dengan itikad baik politik yang tidak mengorbankan kesejahteraan warganya.