DE

Perubahan Iklim
Mundurnya AS dari Kesepakatan Iklim COP 21. Besar pasak daripada tiang?

Diskusi Publik, 14 Juni 2017 Kertanegara

Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Presiden Donald Trump kembali mengejutkan dunia atas keputusan pengunduran diri AS dari Paris Agreement. Trump sendiri dalam pengumumannya menegaskan bahwa kesepakatan iklim merupakan hasil negosiasi yang tidak adil karena merugikan produk domestik bruto sebesar 3 triliun $ dan  menghilangkan 6.5 juta pekerjaan lokal.  

Masyarakat Internasional menyayangkan mundurnya AS dari kesepakatan iklim, karena negara-negara menyadari untuk menahan peningkatan temperatur dibawah dua derajat dibutuhkan kerjasama internasional yang progresif . AS sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar gas rumah kaca mengabaikan prinsip “tanggung jawab bersama tapi berbeda“  dan asas kehati-hatian yang berpotensi mengurangi legitimitas rezim lingkungan global (UNFCCC).

FNF Indonesia menyadari akan pentingnya kesepakatan iklim Paris Agreement untuk menahan peningkatan temperatur global di bawah dua derajat. Itu sebabnya, pada tanggal 14 Juni 2017 lalu, FNF bersama mitra-mitranya dari Freedom Institute dan Climate Institute mengadakan diskusi publik di kantor kami tentang mundurnya AS dari kesepakatn iklim. Melalui diskusi tersebut, kami berharap peserta diskusi dapat menemukan jawaban dan menilai apakah yang dilakukan Amerika Serikat terkait pengunduran diri dari kesepakatan Paris merupakan sebuah kesalahan atau tindakan yang rasional. 

Diskusi ini dihadiri oleh tiga narasumber : Iqbal Dawam Wibisono (Students for Liberty Indonesia), Billy Aries sebagai perwakilan  dari Garda Bangsa dan Diovio Alfath sebagai peneliti Climate Institute.

Diskusi FNF Mundurnya AS dari Paris Agreement

Peneliti Climate Institute Diovio Alfath mengungkapkan bahwa pemanasan global antropogenik bisa dijelaskan secara ilmiah dan bukti-bukti yang ada sudah terverifikasi melalui meningkatnya permukaan ari laut, pengasaman laut dan mencairnya bongkahan-bongkahan es di  Antartika. Pembicara percaya bahwa keputusan yang diambil oleh Presiden AS tidak berdasar dan tidak bertanggung jawab.  Peneliti Climate Institute ini juga menentang pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh Presiden Donald Trump terkait ketidakadilan dari kesepakatan iklim dan kewajiban membayar AS sebagai negara yang menandatangani perjanjian Paris. Pemateri juga menambahkan bahwa energi terbarukan diproyeksikan akan menghasilkan lapangan pekerjaan yang menjanjikan dan berkelanjutan.  Di akhir slide-presentasinya, pemateri menekankan bahwa ada kepentingan-kepentingan pribadi dari pemodal-pemodal industry ekstraktif di AS sehubungan dengan mundurnya AS dari kesepakatan iklim.

Di sesi selanjutnya, peneliti dari Students for Liberty Iqbal Dawam memberikan pandangan alternatif mengenai keputusan AS yang menarik diri dari perjanjian iklim. Berdasarkan pengamatan pemateri biaya yang dibebankan oleh kesepakatan Paris terhadap Amerika akan merugikan perekonomian lokal dalam hal ketersediaan lapangan kerja dan meningkatnya harga energi. Pembicara percaya bahwa aktor non-negara seperti perusahaan dapat mengatasi permasalahan perubahan iklim dan lingkungan lebih efisien. Sebagai contoh di AS, penggunaan teknologi fracking oleh perusahaan swasta tidak hanya mengurangi emisi CO2, tetapi juga membuat gas alam menjadi komoditas energi yang lebih kompetitif di pasar.

Selaku narasumber terakhir, Billy Aries dari Garda Bangsa mengatakan bahwa mundurnya AS dari persetujuan Paris tidak akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap Indonesia. Narasumber menegaskan bahwa sebagian besar anggaran iklim yang mengalir ke Indonesia untuk pengembangan kapasitas dan konsultasi teknis berasal dari negara-negara Uni Eropa. Dan beliau berpendapat bahwa  semua pemangku kepentingan  terkait dengan penanggulangan perubahan iklim di Indonesia (pemerintah, politisi, akademisi, dll) percaya bahwa pemanasan global bukanlah sebuah cerita bohong dan butuh tindakan yang cepat untuk mengurangi emisi C02 dari sektor pengunaan lahan, transportasi dan energi.

Sebagai penutup, moderator M. Ikhsan dari Suara Kebebasan memberikan analisa perilaku terkait skeptisme Trump terhadap masalah lingkungan. Presiden Amerika Serikat saat ini yakin bahwa masa depan umat manusia tidak terletak di bumi, namun Presiden percaya bahwa manusia dilahirkan sebagai penjelajah dan dapat menemukan tempat tinggal lain di bima sakti ini.

Diskusi FNF Mundurnya AS dari Paris Agreement
© FNF Indonesia