DE

Perubahan Iklim
Pentingnya Aksi Kolaboratif Dalam Transisi Energi Baru dan Terbarukan

Diskusi Publik Energy Transition for a Better Future, Bakoel Koffie Jakarta, 30 Juli 2019
Diskusi Publik Energy Transition for a Better Future, Jakarta, 30 Juli 2019
Narasumber dan Moderator dalam Diskusi Publik Energy Transition for a Better Future © FNF Indonesia, Climate Institute

Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), sebuah perjanjian lingkungan internasional yang bertujuan menjaga konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer agar tidak menganggu sistem iklim sudah berjalan lebih dari 25 tahun. Dalam sebuah harapan yang ideal, seharusnya besaran jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) sudah terkendali, namun laporan yang beredar berkata sebaliknya.

Laporan dari lembaga Climate Tracker pada tahun 2019 menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca di Indonesia meningkat secara signifikan setelah Perjanjian Paris (2015) dan diproyeksikan akan mengalami peningkatan dua kali lipat di masa mendatang. Proyeksi yang sama juga dipublikasikan oleh lembaga watchdog Climate Transparency.

Registrasi Diskusi Publik di Bakoel Koffie, 30 Juli 2019
Registrasi Diskusi Publik di Bakoel Koffie, 30 Juli 2019 © FNF Indonesia, Climate Institute

Ini ironis karena komitmen global di tahun 2015 lalu itu seakan tidak dijalankan dengan serius. Komitmen membatasi kenaikan menekan pemanasan global di bawah temperatur 1.5˚C-2˚C belum direalisasikan dengan program-program mitigasi yang  efektif mendukung pencapaian target-target NDC (Nationally Determined Contribution).  Lebih jauh, netralitas karbon yang dicanangkan tercapai pada tahun 2050 sepatutnya dilihat Indonesia sebagai kesempatan memperbaiki manajemen energinya. Efektivitas tindakan mitigasi juga perlu didukung oleh ketersediaan energi yang beragam dan transisi energi yang memanfaatkan sumber-sumber energi baru dan terbarukan (EBT).

Pembicaraan mengenai energi mulai keras belakangan, terlebih karena adanya kasus pemadaman listrik di Ibukota Jakarta pada Hari Minggu (04/08) lalu.

Indonesia sangat bergantung pada energi konvensional, berdasarkan dokumen RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) hampir 90% pembangkit listrik di Indonesia menggunakan energi fosil. Porsi EBT yang kurang lebih baru mencapai 10% ketika pemerintah telah menetapkan energi baru terbarukan dalam bauran energi minimal 23% pada 2025 menunjukkan kelambatan pencapaian. Beberapa permasalahan adalah terkait kebijakan dan regulasi, tantangan teknis, skema bisnis, dan pendanaan.

Diskusi Publik Energy Transition for a Better Future, Jakarta, 30 Juli 2019
Narasumber Billy Aries, Climate Institute © FNF Indonesia, Climate Institute

Disebutkan oleh narasumber Billy Aries dari Climate Institute, penghematan energi tidaklah untuk masa depan kita semata, namun hal itu adalah fondasi dari pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan negara Indonesia. Menurutnya, manajemen energi sangatlah penting. Disebutkan bahwa pada tahun 2025, 68% penduduk berada di kota sehingga kebutuhan energi akan naik dan memenuhi kebutuhan tersebut akan menjadi tantangan tersendiri. Ketergantungan energi nasional fossil, yang cadangannya kecil dan dampaknya juga buruk untuk lingkungan, memerlukan adanya eksplorasi dan ekstensifikasi energi baru dan terbarukan.

Diskusi Publik Energy Transition for a Better Future, Jakarta, 30 Juli 2019
Narasumber Dr. Mahawan Karuniasa, Environment Institute © FNF Indonesia, Climate Institute

Dr. Mahawan Karuniasa selaku pendiri Environment Institute dan APIK Indonesia Network mengatakan bahwa sampai tahun 2018, PBB mencatat emisi gas rumah kaca terus mengalami kenaikan. Terkait EBT, anggaran penelitian dan pengembangan (R&D) sangatlah krusial - saat ini hanya 0,08% dari PDB yang harusnya mencapai 1,5% sebagaimana perencanaan Bappenas. Disebutkan, kita memerlukan kenaikan anggaran untuk R&D. Untuk mencapai 1.5˚C perlu ada pengurangan yang drastis dari energi yang kita konsumsi, sehingga perlu ada inovasi dan R&D menjadi kuncinya.

Diskusi Publik Energy Transition for a Better Future, Jakarta, 30 Juli 2019
Narasumber Nila Ardhyarini, APIK Indonesia © FNF Indonesia, Climate Institute

Narasumber lainnya, Nila Ardhyarini dari APIK Indonesia, mengatakan transisi EBT haruslah dikerjakan dengan aksi kolaboratif antara pemerintah dan pelaku swasta penyedia EBT. Saat ini kebijakan EBT di level nasional sudah tersedia, namun penggunaan energi fossil masih terus digalakkan. Penggunaan energi fossil terlalu banyak akan menimbulkan dampak dan konsumsi energi yang tidak bijak, serta dampak sosial yang merugikan.

Menyangkut EBT, Nila menyebutkan ciri khas EBT adalah keberadaannya di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), yang berakibat pada koordinasinya yang lambat. Untuk pengembangan EBT sendiri dikatakan ada tantangan ego sektoral lembaga dan kementerian, serta kesulitan teknis yang perlu diselesaikan.

Sehubungan dengan kesulitan yang berhubungan dengan pemerintah, Billy Aries yang juga merupakan staff ahli DPR, menekankan perlunya pendekatan top-down politik dalam penurunan emisi GRK. Disebutnya, ada yang alfa jika kita hanya menetapkan kewajiban penurunan emisi pada KLHK, seharusnya tugas tersebut berada di pemerintahan daerah. Perlu ada suara politik yang mendorong sebuah kebijakan untuk dijalankan; sudah sepatutnya topik penurunan emisi dibicarakan dalam pencalonan kepala daerah. Pemimpin Daerah harus mengedepankan persoalan lingkungan sehingga pemenuhan energi pun dapat dibagi kewenangannya ke tiap-tiap pemerintahan daerah. Billy Aries percaya jika kepala daerah mendukung maka industri daerah dan kelompok daerah pun akan tergerakkan.