Hak Pangan
Permasalahan Utama Indonesia bukan pada ketersediaan pangan melainkan pada akses pangan.
Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), kembali mengadakan seminar bertajuk “Memenuhi Hak Atas Pangan Bergizi Selama Pandemi COVID-19” pada 22 Juli 2021, dengan narasumber sebagai berikut:
1. Arumdriya Murwani – Peneliti Muda, Center for Indonesian Policy Studies
2. Pungkas Bahjuri Ali, Ph.D - Direktur Kesehatan Gizi dan Masyarakat, BAPPENAS
3. Kautsar Fahreza Tandipanga - VAM Programme Associate / Food Security Analyst, World Food Programme
Dan di moderasi oleh Felippa Amanta – Kepala Penelitian, Center for Indonesian Policy Studies.
Di tahun 2020 Indonesia berada di peringkat ke-65 dari 113 negara pada Global Food Security Index, peringkat ke-89 untuk indikator kualitas dan keamanan pangan, dan peringkat ke-34 dan ke-55 pada indikator ketersediaan pangan dan keterjangkauan pangan secara berurutan.
Menurut Bank Dunia (2020) rata-rata persentase pengeluaran untuk pangan masyarakat Indonesia adalah 55% dari keseluruhan pengeluaran rumah tangga. Dan data dari Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) (2020) memperlihatkan bahwa 74 Kabupaten dan Kota rentan terhadap kerawanan pangan kronis, sebagian besar berlokasi di Indonesia bagian Timur dan defisit produksi pangan dan kemiskinan merupakan pendorong utama kerentanan di daerah Kabupaten (Catatan: Kabupaten dan Kota yang di analisis menggunakan metode yang berbeda-beda).
SUSENAS 2019 (Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)) setiap tahun. memperlihatkan bahwa ada 9.2% Populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan, 7.6% prevalensi kekurangan gizi, 5.4%, prevalensi kerawanan pangan sedang atau berat, dan 22 juta populasi dengan energi makanan di bawah tingkat minimum.
Yang menjadi perhatian utama atau major concern untuk Indonesia selama pandemi bukan pada ketersediaan pangan tapi lebih kepada akses kepada pangan tersebut (affordability). Karena sebenarnya produksi pertanian berjalan terus selama masa pandemi, dan sejuah ini belum ada temuan – temuan yang cukup banyak bahwa produksi Indonesia terganggu.
Diawal pandemi WFP (World Food Programme) sempat mencatat ada penurunan produksi beras sekitar 3,2% tetapi ketika WFP melanjutkan monitoring di periode Oktober- Desember ternyata justru naik sebesar 26,6% dan kalau melihat agregatnya di tahun 2019 dan 2020, tidak jauh berbeda atau justru naik 1%.
Walaupun pada ketersediaan pangan Indonesia tidak terganggu tapi kalau tidak dipertahankan dengan baik juga bisa berbahaya. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dari WFP:
- Transmisi dari area perkotaan ke kepedesaan, yang menyebabkan petani atau orang-orang yang bekerja di wilayah pertanian terjangkit atau terkena covid-19 yang bisa menghambat proses produksi.
- Iklim ekstrim, yang bisa menyebabkan gagal panen. Pemantauan secara berkala terhadap produksi dan stok pangan diperlukan untuk menginformasikan ketersediaan dan kebutuhan impor pangan.
Adapun action focus yang menurut WFP harus difokuskan oleh pemerintah:
- Reguler dan akurat monitoring
- Menjaga dan memelihara produksi dalam negeri, karena terlalu bahaya juga dalam situasi harga pangan internasional yang tinggi kita mengandalkan impor.
- Akses terhadap kesehatan yang harus di jaga dan dipelihara.
- Menjamin semua makanan khususnya untuk rumah tangga yang rentan dapat mengakses makanan. Dan hal ini sudah dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) yaitu dengan adanya Pasar Mitra Tani yang dimana mereka memberikan harga yang terjangkau, akan tetapui hal ini harus dipantau dan dijaga agar pasar mitra tani ini tepat sasaran dan diperuntukkan bagi rumah tangga yang rentan saja.
- Pemantauan harga pangan secara teratur untuk operasi pasar yang tepat waktu untuk menstabilkan harga pangan.
Bantuan sosial yang dilakukan pemerintah selama masa pandemi
Tunai :
- Program Keluarga Harapan
- Bantuan Langsung Tunai dari Kepala Desa
- Bantuan Sosial Tunai
Non-tunai:
- Bantuan sosial yang tidak tepat sasaran
- Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang tidak termutakhirkan
- Tingginya harga pangan yang mengurangi efektivitas bantuan sosial.
Salah satu program yang menyasar pangan adalah program kartu SEMBAKO (sebelumnya Bantuan Pangan Non Tunai, BPNT), yang menyediakan bantuan sebesar Rp.200.000 per bulan bagi penerima untuk membeli makanan.
Walaupun kebijakan kartu SEMBAKO telah menyadari elemen pemenuhan nutrisi, efektivitasnya dapat dipengaruhi oleh harga pangan yang tinggi. Harga pangan di E-Warung akan megikuti harga pasar. Jika harga makanan di pasaran tinggi, efektivitas program ini akan berkurang.
CIPS sudah melakukan beberapa studi di NTT tentang BPNT dan harga pangan yang tinggi, dan hasil studi menunjukkan bahwa:
- Kenaikan harga akan mengurangi konsumsi beras sebanyak 1,8 kg dan telur sebanyak 3,8 butir.
- Program bantuan sosial meningkatkan rata-rata konsumsi telur (33,8 butir) dan nasi rumah tangga (21,4 kg).
- Jika penerima BPNT menemui kenaikan harga, maka KPM akan mengurangi konsumsi telur sebanyak 1,2 butir/orang dan meningkatkan konsumsi nasi sebanyak 1,4 kg.
Pola konsumsi KPM berubah ketika dihadapkan dengan simulasi kenaikan harga, KPM lebih memilih memprioritaskan pembelian beras dan mie instan atau makanan yang mengandung karbohidrat yang tinggi dibandingkan dengan makanan yang kaya akan mikronutrien seperti protein.
Kekurangan mikronutrien penting dapat menurunkan kualitas pola makan. Defisiensi mikronutrien dapat menjadi faktor resiko malnutrisi dan stunting pada anak-anak. Malnutrisi juga menjadi faktor risiko terhadap penurunan imun, dan meningkatkan kerawanan balita, anak-anak, remaja dan usia senior dalam pandemic Covid-19. Menurut estimasi laporan 2021 State of Food Security and Nutrition in the World, tingkat stunting di Inodnesia pada tahun 2020 mencapai 31,8%.
Harga pangan yang tinggi dapat mengurangi efektivitas bantuan sosial semasa pandemi. Salah satu sebab harga pangan yang tinggi adalah hambatan perdagangan pangan yang masih tinggi di Indonesia. Hambatan perdagangan dalam pangan dan pertanian dapat berupa kebijakan tariff dan non-tarif.
Intervensi pemerintah dalam pemenuhan pangan pencegahan gizi buruk.
Perpres 18/2020 tentang RPJMN 2020 – 2024, PN 1: Penguatan Ketahanan Ekonomi untuk Pertumbuhan yang Berkualitas dan Berkeadilan. Program prioritas: Peningkatan ketersediaan akses dan kualitas konsumsi pangan.
- Peningkaan kualitas konsumsi, keamanan, fortifikasi dan biofortifikasi pangan
- Peningkatan ketersediaan pangan hasil pertanian dan pangan hasil laut secara berkelanjutan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga kebutuhan pokok
- Peningkatan produktivitas, keberlanjutan sumber daya manusia (SDM) pertanian dan kepastian pasar
- Peningkatan produktivitas, keberlanjutan sumber daya pertanian dan digitalisasi pertanian
- Peningkatan tata kelola sistem pangan nasional
Karena adanya pandemi maka ada tuntutan untuk dilakukannya penyesuaian intervensi yang sudah dilakukan oleh Kementerian – Kementerian terkair seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Komunikasi dan Informatikan, dan Kementerian lainnya.
Dan masih banyak lagi strategi-strategi yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani kekurangan gizi. Nonton lebih lanjut pada video dibawah ini: