Keberagaman
Politik Identitas: Tantangan Keberagaman di Ruang Publik
Jakarta, Online – Dalam Pemilihan Umum (Pemilu), ekspresi identitas dalam bentuk politik identitas mungkin saja terjadi. Terlihat dalam Pemilu tingkat Presiden hingga Kepala Daerah pada kurun 2014 hingga 2019 marak diekspresikan, bahkan menjadi strategi pemenangan untuk menarik pemilih dengan memainkan emosi identitas.
Politik identitas menguat ketika Pilkada DKI Jakarta Anies vs Ahok pada 2017 lalu dan digunakan kembali pada Pilpres 2024 oleh salah satu calon, khususnya memainkan strategi identitas keagamaan.
Akademisi, pegiat toleransi serta aktivis HAM khawatir dan mengecam praktik politik identitas dalam Pemilu. Selain karena dapat menciptakan disitegrasi dan segregasi di masyarakat, (praktik politik identitas) juga menciptakan praktik demokrasi yang tidak substasial dan populis.
Oleh sebab itu, Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) bersama FNF Indonesia dan Kemenkumham RI, melihat perlunya edukasi mengenai politik identitas. Diskusi online ini mengangkat tema ”Menavigasi Politik Identitas: Tantangan Keberagaman di Ruang Publik dan Demokrasi”.
Dalam sambutan pembuka, Ganes Woro Retnani (Program Officer FNF Indonesia) menyampaikan tujuan diselenggarakannya diskusi politik ini.
”Tujuan diskusi politik ini adalah untuk menggali lebih dalam bagaimana politik identitas mempengaruhi kehidupan demokrasi di Indonesia khususnya di tengah keberagaman masyarakat Indonesia,” ungkap Ganes.
Selanjutnya, sambutan dari Agung Hestusubekti (Perwakilan Kemenkumham/Penerjemah Ahlimuda) menyoroti pentingnya memahami politik identitas secara benar.
”Penting sekali memahami politik indentias secara benar, karena banyak sekali kekeliruan yang terjadi di masyarakat bahkan dikalangan mahasiswa. Perlu diketahui juga, sebentar lagi kita akan melaksanakan pesta demokrasi pada tingkat daerah,” ujar Agung.
Narasumber pertama Saidiman Ahmad (Manajer Program SMRC), menjelaskan batasan dan tantangan dari politik identitas dalam analisis akademik yang mendalam.
”Politik identitas mengacu pada praktik politik dari kelompok-kelompok berdasarkan kepentingan dan agenda politik yang berkiblat pada identitas sosial seperti ras, agama, etnis, gender atau orientasi seksual,” ungkap Saidiman.
Ia menambahkan politik identitas muncul sebagai tanggapan terhadap ketidaksetaraan yang dialami kelompok tertentu. Lanjutnya, tantangan yang teramat sulit ialah politik identitas dimainkan dalam negara dengan populasi yang beragam dan bagaimana masyarakat tersebut dapat hidup secara damai.
Kemudian narasumber kedua, Dr. Asep A Sahid Gatara (Dosen FISIP UIN Sunan Gunung Jati Bandung) membuka dengan menyampaikan betapa bahayanya politik identitas.
”Politik dikonstruksi sebagai politik yang membahayakan bagi persatuan bangsa, ini terlihat dari sisi gelap Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilu 2019,” papar Asep.
Selain itu, Asep membagi tiga kategori dalam menavigasi politik identitas. Kategori pertama yaitu positif; ketika politik identitas menyediakan nilai solidaritas dalam membangun kesadaran publik tentang kewargaan (civic) dan melawan diskriminasi kelompok tanpa mempromosikan supremasi kelompok sendiri dan kebencian terhadap kelompok lain.
Kemudian kategori kedua yaitu negatif; jika politik identitas tidak secara aktif mempromosikan kesadaran publik yang positif, tetapi minimal tidak mengancam demokrasi dengan mempromosikan wacana permusuhan dan melegitimasi kekerasan antar kelompok identitas.
Lalu yang paling berbahaya menurut Asep ialah kategori ketiga black. Menurutnya black yaitu jika politik identitas mempromosikan nilai yang mengutamakan supremasi kelompok sendiri, mengampanyekan diskriminasi, dan menekankan cara pandang antagonistis terhadap kelompok identitas lain, apalagi sampai melegitimasi kekerasan.
Mathelda Christy, narasumber ketiga, memaparkan hubungan politik identitas dan HAM. Menurutnya, politik identitas dapat dimanfaatkan untuk memperjuangkan hak kelompok terpinggirkan, mendorong kesetaraan, menekankan respresentasi dalam kebijakan publik, tetapi menurut Mathelda, ia dapat juga memperdalam polarisasi.
Dalam pandangan Mathelda, politik identitas perlu menjadi perhatian kita, sebab politik identitas merupakan bagian penting dari perjuangan hak asasi manusia.