DE

Demokrasi
Politik Nir-Romantik "Public Choice Summer School, Georgia 09-15 Agustus 2016"

Politik Nir-Romantik Public Choice Summer School, Georgia 09-15 Agustus 2016
Politik Nir-Romantik Public Choice Summer School, Georgia 09-15 Agustus 2016
© FNF Indonesia

Judul tulisan ini terinspirasi dari tulisan klasik James Buchanan tahun 1979, Politics without romance, politik tanpa romantika menggambarkan dengan sederhana namun utuh, tentang apa yang dimaknai dengan pilihan publik (public choice). Kebanyakan kita, termasuk saya tentu saja, sering percaya dengan fenomena “orang baik” yang terjun dalam dunia politik praktis guna melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Biasanya politisi atau pejabat publik yang berasal dari lingkungan yang sama, misalnya dunia akademik (kampus), bisa saya terima bahwa mereka memang jujur, tulus, dan beritikad baik saat terjun ke politik praktis.

Sayangnya keyakinan dan harapan saya terhadap orang baik, yang mampu berbuat perbaikan, kerap menjadi harapan yang bertepuk sebelah tangan. Mengapa perubahan ke arah yang lebih baik tidak dapat dihasilkan oleh orang baik tadi? Apa yang membuat orang baik tidak berhasil merubah kondisi status quo yang ada? Pada poin inilah, public choice memberikan saya jawaban dan analisis yang memuaskan.

Kita mengenal apa yang disebut dengan kegagalan pasar (market failure) yaitu kegagalan pelaku pasar - perusahaan dan rumah tangga - untuk memasok barang-barang tertentu dan jasa dengan harga dan kuantitas sesuai kebutuhan masyarakat dan permintaan. Misalnya naiknya harga daging saat menjelang lebaran, jalanan yang macet karena antrian kendaraan yang masif, polusi udara karena asap oleh perusahaan sawit dan beragam contoh lain.

Guna menyelesaikan kegagalan pasar itu maka dengan penuh harap kita mengundang pemerintah yang turun tangan. Dengan harapan besar terhadap pemerintah karena mereka memiliki sumber daya yang lebih banyak, aparatur pemerintah yang lebih sigap, dan pengalaman yang telah lama mereka hadapi, maka dampak langsung maupun tidak langsung dari contoh-contoh kegagalan pasar di atas dapat teratasi. Kita kenal dengan eksternalitas. Lantas benarkah  kegagalan pasar dalam rupa eksternalitas bisa diatasi dengan baik? Pendukung public choice skeptis dan tidak setuju dengan klaim itu.

Bagi mereka, kegagalan pemerintah (government failure) justru sesuatu bahaya yang lebih mengancam, bersifat permanen dan cenderung sulit dikoreksi ketimbang kegagalan pasar (market failure). Tiga kata sifat aksimoatik bagi pemerintah, menurut aliran ini, pertama pemerintah bukan pihak yang serba tahu atau maha mengerti (omniscient). Pemerintah juga berisi sekumpulan manusia yang sama dengan gerombolan manusia yang lain di luar pemerintah. Dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti, aparatur pemerintah juga tidak dapat membuat rencana yang sempurna.

Kedua, pemerintah bukan pihak yang penuh kebaikan, lagi suka menolong (benevolent) dimana ketika menjadi pemerintah, dia tidak memiliki motif-motif pribadi seperti yang kita jumpai dalam arena ekonomi. Penjual dan pembeli masing-masing mengejar motif pribadinya masing-masing. Sebagaimana ungkapan Adam Smith yang mahsyur dalam magnum opus-nya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations:

“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own self-interest. We address ourselves not to their humanity but to their self-love, and never talk to them of our own necessities, but of their advantages

Bagi pendukung aliran public choice, pemerintah seperti juga penjual dan pembeli memiliki motivasi pribadi yang mengejar keuntungan personal pula. Dengan demikian, idealisme politisi membawa kebaikan bersama tidak dapat diterima oleh teoritis dan penganut pilihan publik.

Ketiga, pemerintah juga bukan diktator yang mampu mengontrol dan mengawasi setiap tindakan kita. Bahwa pemerintah bisa menjadi otoriter, totaliter dan akhirnya diktator sangat dimungkinkan. Namun di Negara-negara yang telah menerapkan sistem demokrasi, mengadakan pemilihan umum wakil-wakil rakyat secara teratur dan berlangsung dengan jujur dan adil. Maka peluang untuk menjadi diktator menjadi relative lebih kecil (minimal).

Ketiga sifat aksiomatik pemerintah – omniscient, benevolent dan dictator- saya peroleh melalui kuliah Prof Randy Holcombe pada public choice summer university di Bakuriani, Georgia. Konferensi yang berlangsung dari 9-15 Agustus 2016 diselenggarakan oleh panitia dari New Economic School (NES) Georgia, yaitu: Paata Sheshelidze, Presiden, dan Gia Jandieri, Wakil Presiden NES-Georgia. Selain menghadirkan tiga pembicara tersebut, saya jumpa beruntung memperoleh kuliah dari lima orang profesor lainnya yang berasal dari Amerika Serikat, Perancis, Italia, Jerman dan Iran.

 

Selain belajar teori tentang public choice misalnya mengapa pemerintah tidak bertindak dalam koridor kepentingan publik, membahas eksternalitas pasar dan pemerintah, stabilitas dalam pengambilan keputusan demokratik, dan mengapa kita memilih (Why people Vote). Saya juga mendapatkan kuliah yang mengaplikasikan teori public choice seperti teori ekonomi birokrasi, penerapan pilihan publik dalam analisis Uni Eropa dan Dana Moneter Internasional yang disampaikan prof Roland Vaublel dari Jerman.

Buat saya hal yang paling menarik dari aspek praktis teori pilihan publik adalah penyampaian presentasi dan diskusi Dr.Alberto Mingardi – Sekretaris Jenderal Bruno Leoni Institute, Italia- dengan tajuk presentasi kaum intelektual dan kebijakan industri (the intellectual and industrial policy). Makalah presentasi Dr Mingardi dapat diunduh pada yautan berikut: http://object.cato.org/sites/cato.org/files/serials/files/cato-journal/2015/9/cj-v35n3-7.pdf. Ia dengan kekuatan persuasif dapat meyakinkan saya bahwa kaum intelektual cenderung menyukai keterlibatan penuh pemerintah dalam sektor perekonomian. Alasan keterlibatan penuh pemerintah tentu saja mengoreksi kegagalan pasar Dalam soal kebijakan industri, Ia membahas dan menguji klaim perlunya suatu Negara memiliki strategi industri tertentu, yang dibahas dalam buku Mariana Mazzucato The Entrepreneurial State terbitan tahun 2013.

Dengan teori pilihan publik sebagai instrumen analisis dapat dijelaskan bahwa kebijakan pemerintah dalam mempromosikan inovasi justru tidak berdampak bagi suatu Negara, bahwa memiliki kebijakan industri akhirnya mampu menyejahterakan rakyat banyak. Alih-alih industri yang tercipta dari aktivitas inovasi made in government initiative membawa dampak luas, justru memunculkan perilaku pemburuan rente dari perusahaan-perusahaan yang mengejar kontrak besar dari proyek pengadaan barang dan jasa publik.

Walaupun telah ada sistem pelelangan barang dan jasa pemerintah yang transparan, teori pilihan publik mengingatkan kita selalu bahwa pemeintah dan pengusaha bisa berkolusi dan membuat kegagalan pemerintah. Saya percaya bila teori dan aplikasi pilihan publik bisa terus kita kembangkan dalam melakukan analisis politik dengan perspektif ekonomi, maka reformasi ekonomi-politik yang sedang kita laksanakan semakin mencapai tujuan yang diinginkan konstitusi dan para pendiri republik yaitu kesejahteraan rakyat.