DE

Perubahan Iklim
Relasi Bencana Hidrometeorologi & Perubahan Iklim; Bahaya Dahlia, Cempaka & Lili

Met Day 2019, Institut Pertanian Bandung, 1 April 2019
Met Day 2019, Institut Pertanian Bandung, 1 April 2019

Met Day 2019, Institut Pertanian Bandung, 1 April 2019

©

Pada tanggal 01 April 2019 FNF Indonesia bekerjasama dengan Universitas IPB dan Climate Institute menyelenggarakan seminar publik Metday 2019 dengan tujuan untuk memperingati hari meteorologi sedunia dan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya risiko dan ancaman yang dihasilkan oleh bencana hidrometeorologi.

Berdasarkan definisi bencana yang dijadikan referensi oleh BMGK, bencana meteorologi merupakan bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi seperti curah hujan, kelembaban, temperatur dan angin. Wujud nyata dari bencana meterologi itu sendiri adalah bencana kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, tornado, angin puyuh, angin puting beliung, gelombang dingin, gelombang panas dan angin fohn. 

Permasalahannya, histogram yang dipublikasikan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) menunjukkan bahwa jumlah bencana selama 10 tahun terakhir ini meningkat relatif lebih pesat. Bahkan pada tahun ini, selama bulan Januari hingga Maret 2019, telah terjadi 1.107 kejadian bencana yang merenggut 375 jiwa manusia. Terkait bencana yang menerpa Indonesia dalam tahun ini, BPNB menyatakan bahwa 98% bencana yang terjadi merupakan bencana hidrometeorologi.

Timbulah sebuah pertanyaan mendasar mengapa Indonesia kini menjadi ladang “empuk” bagi terjadinya bencana hidrometeorologi yang tidak pernah surut? Untuk menjawab pertanyaan ini, perubahan iklim dikaitkan sebagai penyebab meningkatnya intensitas dan jumlah bencana hidrometerologi, meskipun diagnosa ini masih bersifat praduga dan harus dikumpulkan bukti-bukti konkret untuk membuktikan kausalitas tersebut.   

Met Day 2019, Institut Pertanian Bandung, 1 April 2019

Met Day 2019, Institut Pertanian Bandung, 1 April 2019

Studi yang dilakukan oleh IPCC mengungkapkan bahwa setiap peningkatan suhu temperatur sebesar satu derajat Celsius akan menyebabkan peningkatan kadar air sebanyak 7% di atmosfer. Skenario terburuk IPCC memproyeksikan peningkatan suhu sebesar enam derajat Celsius akan menaikkan tingkat kelembaban atmosfer sebanyak 40%. Yang mengkhawatirkan adalah fakta ketika kadar air di atmosfer meningkat, risiko peristiwa-peristiwa curah hujan ekstrem akan ikut bertambah. Untuk mengilustrasikan secara sederhana, atmosfir kita dapat dianalogikan sebagai sebuah ember besar. Atmosfer yang lebih hangat dapat menampung lebih banyak uap air di saat hujan, sama seperti ember yang lebih besar dapat menampung dan membuang lebih banyak air.  

Ditambah lagi, posisi geografis Indonesia terletak dalam daerah konvergensi antar tropik (DKAT) dimana Indonesia dikelilingi dua samudera di bagian barat dan di bagian timur. Posisi ini yang menjelaskan kenapa Indonesia memiliki iklim maritim tropis yang diasosiasikan dengan peristiwa-peristiwa badai kencang. Selain hal ini, radiasi pendek sinar matahari di lautan ekuator mengakselerasi proses evaporasi air. Dengan meningkatnya laju kondensasi uap air akibat pemanasan global, maka tingkat kelembaban di atmosfer juga bertambah dan menyebabkan variabilitas presipitasi dan pembentukan awan-awan konvektif, terutama awan cumulonimbus (CB) yang dapat menyebabkan cuaca ekstrem di wilayah cakupannya, seperti hujan lebat, hujan es, badai petir, dan angin kencang.   

Faktor selanjutnya yang menyebabkan terjadinya bencana hidrometerologi adalah MJO (Osilasi Madden). BMKG mendeskripsikan Osilasi Madden sebagai sebuah gelombang atmosfer di wilayah tropis yang tumbuh dan berkembang di Samudera Hindia akibat interaksi atmosfer dan lautan global dengan periode 30-90 hari dan bergerak merambat ke arah timur.  Akibat fenomena ini curah hujan, pergerakan angin, suhu muka laut, kondisi cuaca dan tekanan udara meningkat dan memasuki kategori cuaca ekstrim. Perubahan curah hujan dan angin pada Osilasi Madden dapat memodulasi waktu dan mempengaruhi kekuatan iklim hampir di semua cekungan samudera. Dengan berubahnya iklim, frekuensi kehadiran Osilasi Madden dapat bertambah secara tidak teratur.

Dahlia, Cempaka dan Lili bukanlah nama tumbuhan atau nama manusia, apabila kita membahas konteks bencana hidrometerologi. Melainkan ketiga nama tersebut adalah nama siklon tropis yang menerjang wilayah Indonesia dan mengakibatkan kerugian material dan non-material yang signifikan terhadap masyarakat. Siklon tropis Dahlia mendatangkan hujan lebat dan banjir di wilayah Sumatera Barat dan Banten pada tahun 2017. Sedangkan Cempaka menyebabkan angin kencang diatas 25knot atau setara dengan kecepatan 45km per jam.  Dan yang terakhir siklon tropis Lili yang telah menerpa empat pulau di wilayah Ambon pada tahun 2019. Silklon tropis tersebut menyebabkan sejumlah rumah roboh, genangan air di beberapa daerah dan teruputusnya akses telekomunikasi di wilayah Ambon.

Dengan memanasnya suhu temperatur permukaan bumi dan berubahnya pola cuaca akibat kegiatan manusia, kita tidak perlu heran mengapa intensitas bencana meningkat dan Indonesia tetap menjadi ladang empuk bencana-bencana hidrometeorologi seperti Dahlia, Cempaka dan Lili. Terlepas dari meningkatnya intensitas bencana, setiap orang memiliki hak untuk memahami risiko bencana, bantuan bencana dan akses terhadap informasi peringatan bencana. Pemenuhan hak tersebut akan membekali kelompok atau individu yang tinggal di daerah rentan bencana dengan kapabilitas yang baik untuk merespon terhadap bencana dan meningkatkan probabilitas tingkat kelangsungan hidup mereka.