DE

International Academy for Leadership
Seserius Apapun Topiknya, Jogetin Saja

Anton Muhajir pic 1

Dik, gak usah main Tiktok. Isinya kebanyakan toksik...

Saya sering mengatakan nasihat tersebut kepada Satori, anak kedua saya yang masuk usia remaja. Seperti anak lain di usianya, dia juga senang menggunakan ponsel, terutama menonton video pendek seperti Tiktok.

Tiktok, setidaknya bagi saya selama ini, hanyalah berisi video orang-orang berjoget dan berjualan. Dan, karena formatnya yang berupa video singkat dan cepat, orang jadi betah untuk menonton berlama-lama. Oxford bahkan memasukkan istilah baru, brain rot, yang mengacu kepada penurunan fungsi kognitif dan kesehatan mental akibat terlalu banyak paparan konten digital yang tidak berkualitas. Tiktok salah satu penyebabnya.

Karena alasan itulah maka saya agak membatasi anak-anak saya untuk menonton Tiktok.

Namun, kursus dua minggu di Gummersbach, Jerman, telah mengubah pandangan saya tersebut. Tiktok ternyata jauh lebih politis daripada yang saya tahu selama ini. Dia bahkan berpengaruh terhadap situasi politik global, regional, dan nasional saat ini.

Anton Muhajir pic 2

Hangat Diskusi di Antara Turunnya Salju

Saya mengikuti kursus bertema “Liberalism vs Populism: How Can Liberals Win? One TikTok At a Time” tersebut pada 9-21 Februari 2025 lalu. Peserta lainnya dari 22 negara berbeda termasuk Afrika Selatan, Tanzania, Hungaria, Srilanka, Pakistan, dan Filipina. Latar belakang peserta kursus relatif beragam, seperti akademisi, anggota parlemen, politisi, dan aktivis.

Saya mewakili SAFEnet, organisasi masyarakat sipil di Indonesia yang membela hak-hak digital. Organisasi kami diundang Friedrich Naumann Stiftung (FNF) Indonesia untuk mendaftar kursus tersebut. Dan, syukurnya, lolos.

Selama kursus, kami belajar tentang topik-topik terkait populisme, liberalisme, dan Tiktok. Metodenya beragam, termasuk presentasi, diskusi kelompok, kunjungan, dan praktik. Sebagian besar kegiatan dilakukan di ruang kelas Akademi Theodor-Heuss di Gummersbach. Namun, ada juga tiga hari kunjungan ke Berlin, berjarak sekitar 8 jam perjalanan dengan bus dari ruang kelas.

Theodor-Heuss-Akademie, berada di puncak bukit. Kompleks seluas sekitar 2,3 hektare ini memiliki fasilitas kantor, ruang kelas, penginapan, dapur, gim, bahkan bar. Dahrendorf, ruang kelas utama kami, berdinding kaca. Dari ruang kelas berbentuk U ini, kami tidak hanya bisa berdiskusi, tetapi juga menikmati salju turun, pengalaman pertama dalam hidup saya.

Namun, pengalaman lebih penting tentu saja materi kursus itu sendiri karena topik-topik kursus memang banyak yang baru saya pelajari. Pengetahuan dan informasi yang kami bahas dengan hangat selama kursus bersama dua fasilitator, Sven Gerst dan Radu Magdin.

Saya coba meringkas semua materi itu dalam tiga isu besar, yaitu populisme, Tiktok, dan komunikasi.

Anton Muhajir pic 3

Kalau Bisa Mudah, Kenapa Harus Serius?

Pada minggu pertama kursus, kami membahas topik populisme mulai dari ontologi, pertentangannya dengan liberalisme, panduan para populis, dan strategi mereka untuk memenangkan wacana. Sven dan Radu memandu dengan terampil sesi-sesi ini dengan tidak hanya mengarahkan topik diskusi, tetapi juga memancing peserta untuk menyampaikan pengetahuan dan pandangannya. Diskusi berlangsung hidup dan hangat.

Populisme menjadi topik terkini dalam diskusi politik global. Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika pada November 2024 lalu menjadi simbol kuatnya populisme, tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga global.

Secara global, gejala munculnya populisme itu semakin terasa setelah kemenangan pendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) pada 31 Januari 2020 lalu. Kemenangan pengusung Brexit bahkan disebut juga sebagai bom nuklir pertama populisme karena pentingnya bagi kebangkitan populisme.

Dari Inggris, populisme menjalar ke berbagai negara lain, termasuk Turki, Hungaria, India, dan Argentina. Pemimpin di negara-negara tersebut menjual ide-ide populis dengan cara menyederhanakan isu-isu kompleks, menggunakan jargon-jargon yang memancing emosi, dan memecah belah warga. Ketiga hal ini menjadi karakter utama populisme.

Karakter itu diterjemahkan dalam bentuk-bentuk pandangan maupun kebijakan yang pada umumnya anti pada identitas lian, menentang kemapanan, mempertentangkan satu sama lain, mengampanyekan kejayaan masa lalu, dan mempromosikan nilai-nilai tradisionalisme. Sesuatu yang sederhana (simple), tak terduga (unexpected), konkret (concrete), kredibel (credible), emosional (emotion), dan punya nilai cerita (story) yang disingkat SUCCES.

Inilah yang dilakukan pemimpin-pemimpin populis, seperti Donald Trump (Amerika Serikat), Recep Tayyip Erdogan (Turki), Viktor Orban (Hungria), dan Narendra Modi (India). Donald Trump, misalnya, menggunakan istilah-istilah sederhana, seperti dinding di perbatasan, untuk menentang masuknya imigran ilegal dari negara-negara tetangganya. Sesuatu yang mudah dibayangkan untuk mempertentangkan warganya dengan imigran.

Erdogan di Turki, menggunakan kejayaan masa lalu Kesultanan Utsmaniyah (1299-1922), sebagai acuan untuk membangkitkan nasionalisme Turki saat ini. Narendra Modi di India mengagung-agungkan diri sebagai pilihan Tuhan dan menggunakan Hindu sebagai alat untuk merepresi identitas lain, termasuk Islam, Kristen, dan Sikh di Indonesia.

Meskipun demikian, ada batasan jelas antara otoritarianisme dan populisme. Kami membahasnya dalam kelompok dengan mengambil contoh kasus beberapa negara, termasuk Rusia, China, dan Jerman. Kami sepakat bahwa di tangan para pemimpin populis masih ada ruang untuk kebebasan berserikat dan berpendapat, kebebasan pers, dan penghormatan hak asasi manusia. Tidak seperti di China dan Rusia yang mengendalikan apapun secara totaliter.

Anton Muhajir pic 4

Populisme yang Terus Merangkak Naik

Lalu, apa penyebab populisme menjadi gelombang baru di politik global saat ini? Ada beberapa analisis untuk menjelaskannya.

Sven menunjukkan grafik tentang perkembangan populisme, disebut juga kelompok sayap kanan (right wing populism) vs. kelompok kiri pengusung liberalisme, selama 77 tahun terakhir (1946-2023). Grafik itu menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1946-1991, liberalisme menjadi ideologi politik paling populer. Namun, mulai 1992 ke 1997, popularitas populisme mulai naik.

Kenaikan itu terus menanjak sejak 1999 hingga saat ini. Sementara itu, di sisi lain, liberalisme justru terpuruk. Jacob Edenhofer, University of Oxford dalam salah satu sesi melalui Zoom menjelaskan dari dua perspektif, ekonomi dan budaya, secara sederhana.

Dari sisi ekonomi, warga merasa semakin muak dengan kesenjangan antara warga biasa dengan kelompok elite. Pemimpin populis biasanya menyalahkan pihak lain, terutama asing, sebagai penyebab kesenjangan ini. Maka, warga tidak lagi melihat kelas sebagai isu, tetapi negara lain sehingga mereka lebih pro pada proteksionisme.

Dari sisi budaya, ada perubahan pandangan terkait konflik sumber daya. Tak lagi pada sumber daya material seperti rempah-rempah atau mineral, tetapi pada hal-hal bersifat immaterial, termasuk identitas gender. Tak heran jika kelompok populis pada umumnya juga anti terhadap ras, agama, serta kelompok minoritas gender.

Faktor lain yang menyebabkan naiknya populisme adalah... Tiktok!

Hampir semua narasumber dalam seminar ini, termasuk yang hadir secara langsung, daring, maupun kunjungan, menegaskan hipotesis ini. Naiknya populisme, terutama di Amerika Serikat dan Eropa tak bisa dilepaskan dari peran Tiktok sebagai platform media sosial.

Tak ada mekanisme satu pintu pengendalian di media sosial karena semua orang bisa menjadi penjaga gawang. Tidak seperti di media massa yang melewati tahapan berjenjang dan birokratis. Peluang ini yang digunakan politisi populis ketika mereka cenderung diabaikan atau bahkan dilarang tampil di media massa.

Dalam sesi Beyond Funny Dances: How the Far-Right Took Over TikTok, Konsultan Politik dan Ilmuwan Data Politik Benjamin Laepple mengatakan Tiktok membuat kelompok populis kanan lebih bisa menjangkau anak muda, membentuk narasi, dan memastikan pertanggungjawaban secara digital.

Benjamin memberikan contoh pemilu di Rumania. Dua kandidat sayap kanan, George Simon dan Călin Georgescu, memiliki pengikut paling banyak di Tiktok. Simon diikuti lebih dari 829 ribu akun Tiktok sementara Georgescu lebih dari 517 ribu. Jumlah itu jauh melebihi kandidat-kandidat lain, misalnya, Elena Lasconi (liberal) dengan 130an ribu pengikut dan Mircea Geoana (sosial demokrat).

Oleh karena itu, pembuat kebijakan perlu menggunakan Tiktok untuk membangun keterikatan langsung dengan publik sebagai bagian dari komunikasi politik

Benjamin Laepple
Anton Muhajir pic 5

Saatnya Merebut Wacana Kembali

Sebagaimana dikatakan Benjamin, penting sekali untuk merebut kembali wacana di media sosial, terutama Tiktok, untuk mengampanyekan liberalisme. Selama kursus, kami merefleksikan bahwa populisme tak bisa dibiarkan terus mendominasi karena berbahaya bagi demokrasi, hak asasi manusia, dan kelompok minoritas.

Maka, mau tak mau, pendukung liberalisme juga harus menggunakan ruang sama untuk mewarnai wacana, Tiktok. Di sesi-sesi dan hari-hari berikutnya, kami belajar tentang bagaimana menggunakan Tiktok sebagai media kampanye politik tersebut.

Lokasi belajarnya berganti. Tak lagi di ruangan kelas Akademi Theodor-Heuss, tapi ke Berlin, ibu kota Jerman. Dari Gummersbach, kami menempuh perjalanan darat selama sekitar 8 jam melewati kontur dan lansekap Jerman yang bergunung dan berbukit. Hamparan salju, di kanan kiri jalan tol utama penghubung Jerman dengan negara-negara tetangganya, menemani perjalanan kami.

Selama di Berlin pada 15-18 Februari 2025, kami semakin mendalami materi tentang Tiktok dan pemilu Jerman. Pertama dalam sesi The Fall of the (Polish) Empire: How TikTok Helped to Defeat PiS dengan narasumber Jakub Choromański, Penasihat Perdana Menteri Polandia.

Pesan penting dari Jakub adalah buatlah konten politik sebagai hiburan. Jangan terlalu serius. Dia memberikan contoh konten-konten Tiktok Perdana Menteri Polandia saat ini, Donald Tusk. Konten sederhana semacam belanja keperluan dapur pun bisa dikemas dengan jenaka dengan menyisipkan pesan tentang politik. Dan, Donald Tusk menang pemilu mengalahkan kelompok Populis.

Dalam sesi The Campfire Method: How to Capture Your Audience bersama Medeni Sungur, Kuest Media, Turki kami membahas secara lebih teknis. Membuat video singkat di Tiktok pun memerlukan pengetahuan dan kemampuan berbeda. Bagi saya, Tiktok ini semacam dunia sendiri lengkap dengan aturan-aturan berbeda. Misalnya, membuat video harus vertikal. Konten harus dibuat satset, ringkas. Tidak usah bertele-tele.

Begitu pelajaran dari Medeni Sungur yang mengelola Kuest Media sebagai saluran untuk kelompok liberal di Turki dan Eropa secara lebih luas. Medeni bahkan menjadi pelatih kami ketika kembali ke Gummersbach untuk berlatih membuat konten Tiktok.

Menjelang kembali ke Gummersbach, kami berguru dari profesor ilmu komunikasi Gernot Wolfram, Cultural Studies  Macromedia University dalam sesi Sea Lioning, Gish Galopp & Pop Culture: Radicalizing Public Discourse. Ada satu istilah yang baru saya dengar dari Prof. Gernot, semantical reloading. Istilah ini merujuk pada strategi pemberian makna baru terhadap isu, pesan, atau simbol politik yang sudah ada.

Dalam konteks politik kiwari, istilah ini diwujudkan dalam penggunaan emoji-emoji di platform media sosial. Di Jerman, partai yang paling rajin menggunakan strategi ini adalah Alternative für Deutschland (AfD), partai populis kanan. Hasilnya, pada pemilu Jerman 23 Februari 2025 lalu, partai ini berada di urutan kedua dengan hasil 20,8% suara. Perolehan suara mereka naik lebih dari dua kali lipat dibanding pemilu sebelumnya pada 2021 yaitu 10,3%.

Salah satu faktor pendukung kemenangan tersebut tentu saja adalah Tiktok. Faktor yang membuat saya semakin menyadari, kita tak bisa lari dari Tiktok sebagai ruang kontestasi antara pendukung liberalisme dan kelompok populis. Padahal, selama ini saya selalu antipati dengan platform milik perusahaan dari China ini.

Mungkin sudah saatnya saya tak hanya berhenti melarang anak saya menggunakan Tiktok, tetapi juga membuat akun di sana. Biar punya alasan untuk belajar joget-joget dan menyampaikan topik serius dengan cara jenaka.

Anton Muhajir
Anton Muhajir pic 6
Close menu