DE

IAF Replication
Pandangan Anak Muda tentang Demokrasi: Optimisme di Tengah Tantangan

Foto bersama para peserta dan pembicara diskusi publik “Bagaimana Orang Muda Memaknai Demokrasi Saat Ini?”

Foto bersama para peserta dan pembicara diskusi publik “Bagaimana Orang Muda Memaknai Demokrasi Saat Ini?” 

© FNF Indonesia

Jakarta — Sebuah diskusi dengan topik “Bagaimana Orang Muda Memaknai Demokrasi Saat Ini?” diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 29 November 2024. Diskusi yang diselenggarakan oleh Friedrich Naumann Stiftung (FNF) Indonesia ini membicarakan tentang bagaimana generasi muda di Indonesia memaknai demokrasi di tengah mundurnya demokrasi secara global dan tergerusnya kebebasan.

Dalam pidato pembukaannya, FNF Indonesia program officer Ganes Woro Retnani menegaskan komitmen FNF Indonesia dalam mempromosikan demokrasi, kebebasan sipil, dan supremasi hukum.

“Indonesia dikatakan sedang mengalami tantangan sangat besar untuk menjaga masa depan demokrasi. Kita tahu banyak sekali hal-hal yang masih jadi tantangan bagi kita semua,” ujarnya. “Semoga dalam diskusi ini kita bisa berpikir langkah-langkah apa yang bisa dilakukan oleh anak muda di indonesia untuk membangun demokrasi yang lebih baik lagi.”

Youth, Skepticism, and Democratic Trust

Dari kiri ke kanan: Hafizh Nabiyyin (SAFEnet, moderator), Nanang Sunandar (INDEKS, pembicara), Saidiman Ahmad (Saiful Mujani Research and Consulting, pembicara), Raina Salsabil (Students for Liberty Indonesia, pembicara), Dimas Saudian (Direktorat Jenderal HAM, pembicara).

Dari kiri ke kanan: Hafizh Nabiyyin (SAFEnet, moderator), Nanang Sunandar (INDEKS, pembicara), Saidiman Ahmad (Saiful Mujani Research and Consulting, pembicara), Raina Salsabil (Students for Liberty Indonesia, pembicara), Dimas Saudian (Direktorat Jenderal HAM, pembicara).

© FNF Indonesia

Saidiman Ahmad, peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), menyoroti pandangan kritis generasi muda Indonesia terhadap demokrasi.

Mengutip riset dari Roberto Stefan Foa dan Yascha Mounk, Saidiman mengungkapkan bahwa generasi muda memiliki tingkat kepercayaan yang lebih rendah terhadap sistem demokrasi dibandingkan dengan generasi yang lebih tua.

“Kan orang-orang tua yang percaya akan demokrasi akan mati, dan akan digantikan oleh orang muda. Kalau ini berlanjut, maka sistem demokrasi akan tergerus,” ujarnya. “Saya kira ini yang terjadi sekarang.”

Untungnya, generasi muda di Indonesia cenderung masih punya kepercayaan tinggi terhadap demokrasi, ungkap Saidiman.

Menurut hasil survei nasional yang dilakukan SMRC di 2023, mayoritas generasi Z dan generasi milenial di Indonesia percaya bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan terbaik untuk Indonesia, meskipun belum sempurna.

Penerimaan terhadap demokrasi paling rendah justru berada di generasi Boomer/Preboomer.

Saidiman juga menguraikan tren mengkhawatirkan terkait kesehatan demokrasi Indonesia, termasuk turunnya skor Freedom House dari 62 pada 2019 menjadi 57 pada 2024. Hal-hal yang menjadi tantangan utama bagi demokrasi di Indonesia adalah dinasti politik, meningkatnya intoleransi, dan pembatasan kebebasan berekspresi.

Meski demikian, Saidiman tetap optimis terhadap keterlibatan anak muda.

“Anak muda kita percaya pada sistem demokrasi, tapi kritis pada pelaksanaannya. Ini situasi yang bagus untuk anak muda kita,” ujarnya.

Kebebasan dan Kompleksitas Demokrasi

Nanang Sunandar, Direktur Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial, membahas hubungan kompleks antara kebebasan dan demokrasi. Mengacu pada konsep kebebasan negatif dan kebebasan positif dari Isaiah Berlin, Nanang menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia cenderung lebih menekankan pada kebebasan positif, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.

Bagi kebanyakan orang Indonesia, kebijakan redistribusi itu lebih esensial dibandingkan dengan kebebasan sipil dan politik. Makanya orang indonesia gak peduli dengan kriminalisasi aktivis, yang penting kebebasan positifnya dipenuhi, seperti bantuan sosial,” ujar Nanang.

Nanang juga mencatat bahwa preferensi ini membentuk demokrasi Indonesia, di mana akuntabilitas pemerintah dan upaya anti-korupsi dilihat sebagai nilai inti demokrasi. Namun, ia memperingatkan bahaya mayoritarianisme. Hal ini menggambarkan kondisi di mana ketika mayoritas berkuasa, maka merekalah yang berhak mengambil keputusan, di mana keputusan tersebut dapat memarginalisi minoritas dan merusak kebebasan itu sendiri.

“Jadi kebebasan di dalam demokrasi juga sangat rentan ketika nasibnya diserahkan ke suara terbanyak,” imbuh Nanang.

Demokrasi Digital dan Aktivisme Gen Z

Raina Salsabil, Koordinator Students for Liberty Indonesia, menjelaskan bagaimana generasi Z, atau yang sering disebut Gen Z, secara umum tidak puas terhadap praktik demokrasi yang berlangsung di Indonesia.

Mengutip laporan IDN Times di 2024, 59% dari Gen Z mengatakan bahwa mereka tidak puas dengan kualitas demokrasi di Indonesia.

“[Anak muda tidak puas dengan demokrasi] Karena demokrasi belum optimal, dan demokrasi dianggap hanya procedural, cuman muncul saat pemilu,” ujar Raina.

Namun itu bukan berarti Gen Z bersikap apatis, imbuhnya.

“Sebenarnya Gen Z itu memang skeptis, tapi kita tidak bersifat apolitis. Mereka aktif dalam demokrasi digital, mereka berpartisipasi melalui kampanye digital dan aktivisme digital,” ujar Raina.

Inisiatif seperti petisi online dan kampanye media sosial menjadi alat penting untuk memperkuat suara anak muda.

“Indonesia yang ideal bagi anak muda adalah negara yang uphold rule of law, punya sistem anti korupsi yang kuat,” ujar Raina.

Para peserta diskusi publik “Bagaimana Orang Muda Memaknai Demokrasi Saat Ini?”

Para peserta diskusi publik “Bagaimana Orang Muda Memaknai Demokrasi Saat Ini?” 

© FNF Indonesia

Memberdayakan Anak Muda melalui Dukungan Institusional

Mengingat pentingnya peran generasi muda di dalam menjaga dan memperkuat demokrasi di Indonesia, pemerintah telah melaksanakan beberapa program, ujar Dimas Saudian dari Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia.

Ada program Kementerian HAM seperti Koppeta HAM yang menargetkan pemuda usia sekolah, dengan tujuan menjangkau lebih dari 22 juta anak muda usia 15-19 tahun dalam lima tahun. Program ini mendorong partisipasi aktif melalui kegiatan berbasis komunitas dan pendidikan HAM, jelas Dimas.

Namun pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada peran aktif dari berbagai pihak, termasuk orang tua untuk mendidik anaknya sejak dini mengenai demokrasi, ujar Dimas.

“Karena ketika kita bertumbuh, kalau tidak terjadi pendidikan demokrasi di dalam sebuah rumah, percuma,” ujarnya. “Ketika anak muda duduk di parlemen, di pemerintahan, mereka gak akan punya perspektif demokrasi.”

Merancang Langkah ke Depan

Para panelis mengidentifikasi tantangan utama, termasuk menurunnya kebebasan pers, meningkatnya rasa takut masyarakat untuk berpartisipasi politik, dan kurangnya pendidikan kewarganegaraan. Data dari SMRC menunjukkan peningkatan tajam dalam jumlah orang Indonesia yang takut berbicara tentang politik secara terbuka—dari 18% dua dekade lalu menjadi lebih dari 50% saat ini.

Meski menghadapi tantangan tersebut, diskusi berakhir dengan nada optimis.

Raina menegaskan pentingnya peran anak muda: “Orang muda bukan cuman mengeluh, tapi juga ada aspirasi tentang Indonesia yang ideal.”

Sementara itu, Ganes menegaskan pentingnya kolaborasi.

“Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah, kita tidak bisa kerja sendiri, maka kita butuh kerja sama dan kolaborasi yang baik dengan pemerintah, NGO lokal, dan masyarakat sipil itu sendiri, termasuk anak muda,” ujarnya.