Hak Asasi Manusia
Sengkarut Perkawinan Usia Anak di Wonosobo, Tanggung Jawab Siapa?
FNF Indonesia bersama dengan Pemerintah Kabupaten Wonosobo mengadakan diskusi online bertajuk “Mengurai Sengkarut Perkawinan Usia Anak di Kabupaten Wonosobo” pada Kamis lalu (17/06/2021).
Tingkat perkawinan usia anak di Wonosobo tercatat cukup tinggi. 2018 sebanyak 2109 kasus, 2019 sebanyak 2018 kasus, dan 2020 tercatat 968 kasus.
Mengawali diskusi ini, Koordinator Desk Wonosobo Ramah HAM, Fahmi Hidayat menyampaikan sambutannya.
“Diskusi ini bermanfaat memberikan literasi dan pemahaman benar kepada semua pihak dalam mengendalikan perkawinan usia anak,”ujar Fahmi.
FNF Project Director, Dr. Almut Besold, menyampaikan sambutannya terkait perkawinan usia anak.
“Perkawinan usia anak memberi dampak dan kemudahan dalam jangka pendek, namun, jangka panjang mewariskan banyak sekali masalah, “ujar Almut.
Siapa yang bertanggung jawab mengendalikan perkawinan usia anak?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita cermati penjelasan dari berbagai narasumber berikut ini:
Yusuf Romli, Penyuluh hukum dari Kemenkumham menerangkan peran Kemenkumham terkait perkawinan usia anak.
“Kemenkumham memiliki desa Sadar hukum, yaitu desa binaan yang salah satu kriterianya adalah tidak adanya perkawinan usia anak, “ungkap Yusuf.
Sinergi antara Pemerintah dan semua stakeholder dalam mengendalikan perkawinan usia anak menjadi sangat penting.
Hal ini diamini oleh Erna Yuniawati, Kepala Bidang PP PA Dinas Pengendalian Penduduk KB PP dan PA Kabupaten Wonosobo.
Ia menjelaskan alasan pemohon perkawinan anak untuk meminta nikah, sebagian besar karena pergaulan bebas dan putus sekolah.
“Kabupaten Wonosobo selama ini telah mendirikan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk mengendalikan perkawinan usia anak salah satunya melalui PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) yang bertugas memberikan rekomendasi atau layanan,” terang Erna.
Strategi pengendalian perkawinan KB PP PA Wonosobo, lanjut Erna berfokus pada 2 hal utama, yaitu peningkatan kualitas keluarga dan pemenuhan hak anak.
“Peningkatan kualitas keluarga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, kekal sesuai Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, program pemenuhan anak maksudnya menekankan pada kewajiban orangtua mencegah perkawinan anak, “jelas Erna.
Hadir juga Muhsin, Hakim Pengadilan Agama Wonosobo (Eselon III/a), untuk menceritakan proses peradilan berjalan dan apa diupayakan di Pengadilan Agama dalam mengendalikan perkawinan anak.
“Meski pada dasarnya tidak dibolehkan, para orang tua pihak pria dan/atau wanita meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung untuk melakukan perkawinan anak,”papar Muhsin.
Ia menambahkan bahwa dispensasi karena alasan mendadak berdasar Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 banyak diajukan karena kehendak anak sendiri, dan kasus kehamilan di luar nikah.
Temuan penyebab perkawinan anak lainnya selain faktor ekonomi juga adanya faktor memperkaya keluarga itu sendiri. Atas dasari itulah, Rumiyati dari Lembaga KITA Institute Wonosobo menginisiasi gerakan dan upaya menanggulangi perkawinan anak.
“Lembaga KITA Institute memiliki misi melakukan Gerakan pemberdayaan melalui kegiatan-kegiatan, seperti Pelatihan Konseling Sebaya, Literasi “Rumah Baca KITA”, ucap Rumiyati.
Rumiyati berharap upaya dilakukan KITA Institute menjadi wahana pemberdayaan anak yang semula ingin menjadi pengantin, berubah menjadi aktor yang menyuarakan betapa bahayanya dampak perkawinan anak.
Selain upaya-upaya pengendalian yang dilakukan berbagai sectoral, diskusi ini juga membahas resiko perwakinan anak.
Sementara itu, Zumrotin, Yayasan Kesehatan Perempuan Indonesia yang juga aktivitis yang memperjuangkan revisi UU Perkawinan anak menyebutkan revisi UU perkawinan tidak cukup.
“Merevisi UU perkawinan anak saja, nyatanya tidak cukup mengendalikan laju perkawinan anak. Penekanan akan bahaya perkawinan usia anak pada kesehatan pada ibu dan bayi juga perlu disosialisasikan, “papar Zumrotin.
PENUTUP
Mengurai sengkarut perkawinan usia anak merupakan perjalanan yang panjang, namun bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Di hulu Ada peran orangtua, anak, ormas dan pemuka agama. Ditengah ada peran masyarakat yang bisa merangkul (aktivis, PKK, NGO) untuk mengedukasi, menghentikan atau memberi peluang lain bagi orangtua dan anak sehingga tidak tergoda pernikahan anak. Kemudian, di hilir ada peran pengadilan Agama dan dinas KBB PA dan pemerintah daerah yang siap menyiapkan rekomendasi hingga dispensasi.
Sekarang kita tinggal melihat posisi terdekat kita dimana, apakah di hulu, tengah, atau di hilir? Kita punya tanggungjawab bersama terkait perkawinan usia anak, dan mengembalikan kembali tujuan perkawinan membentuk keluarga baik.