Ketahanan Pangan
Talkshow Tour Goes to Campus: Diskusi Ketahanan Pangan Indonesia bersama FNF dan CIPS
Untuk pertama kalinya, Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia bersama mitra, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengadakan Talkshow Ketahanan Pangan di berbagai kampus yang ada di Indonesia. Kegiatan ini merupakan bagian dari agenda CIPS Learning Hub (CLH), pusat media edukasi CIPS mengenai topik ketahanan pangan, edukasi, dan ekonomi.
FNF dan CIPS telah berhasil mengadakan Talkshow pertama di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada 25 April 2024. Mengusung tema “Bisakah Input Pertanian Bantu Petani Perkuat Ketahanan Pangan?”, acara ini turut mengundang pembicara: Prof Subejo (Dosen sekaligus Wakil Rektor III Fakultas Pertanian UGM), Puji Lestari (Kepala Divisi Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional), dan Azizah Fauzi (Peneliti Bidang Pertanian CIPS).
Acara diawali dengan pemutaran video MAPAN (Masa Depan Pangan) yang membahas tentang situasi pangan di Indonesia saat ini beserta prediksi untuk situasi di masa mendatang. Kemudian, sesi dilanjutkan oleh presentasi dari Azizah mengenai situasi input pertanian Indonesia. Azizah menjelaskan bahwa input pupuk, terutama program bantuan pupuk yang dibuat oleh pemerintah, belum dapat membantu para petani. Kenyataannya, petani terkadang masih kesulitan untuk mendapatkan bantuan pupuk tersebut mengingat subsidi pupuk tidak langsung diberikan kepada petani, melainkan kepada PT Pupuk Indonesia.
Selanjutnya, Prof Subejo juga memaparkan situasi pertanian di Indonesia, di mana terkadang masih sulit untuk mengajak petani mengurangi penggunaan pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik. Hal ini dipicu oleh anggapan yang menilai bahwa penggunaan pupuk kimia dapat memberikan hasil yang lebih cepat, meskipun efek kerusakan lingkungan akan menunggu di belakang. Prof Subejo juga nemambahkan bahwa saat ini Indonesia berada pada peringkat 63 dalam penyediaan suplai pangan. Jika dibandingkan dengan Singapura yang berada di posisi 28, Indonesia termasuk tertinggal dan masih kesulitan dalam memenuhi suplai pangan dalam negerinya sendiri. Padahal, Indonesia memiliki lahan pertanian yang lebih besar dari Singapura.
Pada pemaparan berikutnya, Puji Lestari juga menegaskan bahwa kolaborasi pemerintah dengan sektor swasta menjadi sangat penting. Sektor swasta bisa membantu dalam penyediaan dan percepatan penggunaan teknologi pertanian, melahirkan inovasi pertanian, dan membantu petani dalam menyediakan informasi.
Saat sesi tanya jawab berlangsung, antusias peserta sangat besar. Hal ini terlihat dari adanya 10 peserta yang ingin mengajukan pertanyaan dan memberikan saran serta masukan. Meskipun kegiatan ini diadakan di kampus dan mayoritas dihadiri oleh mahasiswa dan dosen, nyatanya talkshow ini juga dihadiri oleh anggota kelompok petani yang berada di Yogyakarta. Semua pihak yang terlibat pada akhirnya bisa mendapatkan pengetahuan dan praktik pertanian yang nyata dari berbagai pihak (peneliti, akademisi, pemerintah, dan praktisi).
Kesuksesan acara talkshow di UGM kemudian berlanjut di talkshow kedua yang diadakan di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 7 Juni lalu dengan tema “Bisakah Indonesia Bertransisi ke Sistem Pangan Berkelanjutan”. Selain mengundang pembicara: Prof Sobir (Dosen Fakultas Pertanian IPB) dan Azizah (Peneliti Bidang Pertanian CIPS), kami juga mengundang Adwin Pratama Anas (Vice President dari Eratani).
Talkshow ini diawali dengan pemaparan dari Prof Sobir yang menekankan pada kehati-hatian dalam menggunakan impor sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Beliau menjelaskan bahwa saat ini di pasar dunia, persediaan beras sangat terbatas, yaitu hanya 10 juta ton dan juga disertai persaingan yang ketat dari berbagai negara untuk mendapatkan beras tersebut. Indonesia sendiri memerlukan kurang lebih 5 juta ton untuk bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jadi dapat dibayangkan jika hanya mengandalkan impor, ketahanan pangan dalam negeri akan sulit untuk dicapai. Memastikan kemampuan produksi pangan dalam negeri merupakan solusi utama untuk mencapai ketahanan pangan.
Kemudian, Adwin Pratama dari Eratani menjelaskan mengenai Eratani sebagai salah satu start-up dibidang Agri-Tech di Indonesia yang baru berjalan tiga tahun. Berdasarkan riset yang dilakukan Eratani, ditemukan bahwa sebanyak 58,61% produksi beras masih terpusat di Pulau Jawa. Situasi ini menjadi tidak sehat karena seharunya produktivitas di berbagai pulau di Indonesia merata, mengingat beras merupakan sumber pangan utama masyarakat. Eratani kemudian membantu petani dalam edukasi penggunaan teknologi dalam bidang pertanian. Tantangan demi tantangan banyak ditemui karena petani di Indonesia masih mengandalkan metode konvensional. Namun, Adwin menyebutkan bahwa pengenalan terhadap teknologi harus dilakukan secara bertahap, diiringi dengan fasilitasi dan pendampingan kepada petani.
Selain itu, Azizah menjelaskan bahwa kebijakan yang perlu dievaluasi dan diintensifkan kembali untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan adalah kebijakan subsidi pupuk, dan benih unggul.
Antusias yang besar juga kami dapatkan dari peserta di IPB ini. Mereka banyak yang merasa tertarik untuk terlibat dalam dunia Agri-tech di start-up company yang memang saat ini sangat diminati oleh generasi muda dan pertumbuhannya yang cukup pesat di Indonesia.
Kesuksesan dua campus tour ini turut membawa rasa optimis yang tinggi kepada FNF dan CIPS untuk melanjutkan tour-tour selanjutnya. Mulai bulan Agustus mendatang, kami akan menyambangi lagi kampus-kampus yang ada di Indonesia untuk mendiskusikan isu pangan Indonesia.
Semoga dengan adanya talkshow tour ini bisa membuka wawasan baru dunia pertanian dan praktiknya serta dapat menarik minat terutama generasi muda untuk dapat terlibat dalam dunia pertanian. Patut diakui bahwa saat ini, sangat sedikit anak muda yang memiliki minat dan ketertarikan untuk membahas isu pertanian. FNF dan CIPS juga berharap agar acara ini dapat memberikan kontribusi untuk mewujudkan Ketahahan Pangan di Indonesia.
Editor: Dhea Ramadhani (Program Assistant & Communications Officer)
Kebebasan Sipil dan Isu Lingkungan di Bangka Belitung
PANGKALPINANG, BANGKA BELITUNG – Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia bersama Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), serta didukung oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia, telah melaksanakan Pelatihan Kebebasan Sipil pada Jumat 24 Mei sampai Minggu 26 Mei 2024.
Kolaborasi Kunci Jurnalis Kampus Jawa Barat Memperkuat Kebebasan Beragama dan Toleransi
BANDUNG — FNF dan SEJUK telah menyelenggarakan workshop jurnalisme keberagaman untuk para jurnalis kampus di Jawa Barat selama empat hari pada 7 hingga 10 Juni 2024. Melalui kegiatan ini, para peserta mendalami dan mempraktikkan langsung cara kerja pemberitaan kasus intoleransi dan diskriminasi yang berpihak pada kelompok marginal. Kegiatan ini turut dilengkapi dengan pemberian beasiswa bagi proposal-proposal jurnalisme terpilih yang bertemakan liputan keberagaman.
Kebebasan Ekonomi: Manfaat dan Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia
Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) bersama Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia kembali menggelar Pelatihan Kebebasan Ekonomi dan HAM. Dari pengantar kasus Jerman hingga dampak redistribusi lahan di Tiongkok, pelatihan ini mengungkapkan bagaimana kebebasan ekonomi berperan dalam menciptakan kemakmuran bersama. Evaluasi pasca-pelatihan juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam pengetahuan dan komitmen peserta terhadap advokasi kebebasan ekonomi. Artikel lengkapnya memberi gambaran detail tentang hubungan erat antara kebebasan ekonomi dan HAM serta dampak positifnya terhadap masyarakat. Baca selengkapnya disini!