DEMOKRASI
Diskusi Etika Dunia Digital
Dalam episode terakhir dari seri diskusi demokrasi tahun 2022 ini, dibicarakan tentang bagaimana kita merumuskan etika yang perlu dikembangkan dalam merespon perkembangan dunia digital, yang juga menjadi wilayah baru bagi dunia demokrasi.
Ada tiga orang pembicara di diskusi ini yaitu:
Muhammad Ola Rizqi (dosen komunikasi di FIABIKOM, Unika Atma Jaya Jakarta), Karyn Amanda (staff di Tik Tok Indonesia, alumni prodi ilmu komunikasi FIABILOM, Unika Atma Jaya) dan Aquino Hayunta (pegiat demokrasi, alumni IAF dan alumni FIABIKOM Unika Atma Jaya) dengan dimoderatori oleh I Gusti Ngurah Aditya (dosen etika digital di FIABIKOM, Unika Atma Jaya.)
Dalam sambutan di awal acara, baik Bapak Eko Widodo sebagai Dekan dari FIABIKOM Atma Jaya menyampaikan bahwa penting bagi anak muda/mahasiswa untuk bisa memahami perkembangan dunia digital sekarang ini, karena jejak digital akan tersimpan untuk waktu yang lama. Juga banyaknya isu-isu yang bersliweran di media sosial yang membutuhkan ketrampilan tersendiri untuk menyikapi informasi dengan cerdas.
Ola Rizqi sebagai narasumber pertama menekankan apa yang harus kita lakukan ketika kita berkomunikasi lewat media digital. Etika adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan, yang muncul dengan sendirinya dalam kehidupan bermasyarakat. Dan ini tergantung kepada tempat etika itu muncul, begitu pula ketika wilayah baru media sosial muncul, maka akan menimbulkan etikanya tersendiri dalam rangka merespon problematikanya sendiri. Ini membutuhkan kita untuk membangun guidance line, pertimbangan dalam sikap dan tindakan serta membangun sikap saling menghargai. Untuk naik gunung atau naik motorpun ada persiapan dan etika khusus, namun sayangnya dalam dunia digital, kita jarang memikirkan persiapan apa yang kita perlukan atau etika apa yang perlu kita kembangkan.
Di dalam medsos, kebohongan menjadi sesuatu yang biasa, baik bohong karena salah memilih kata, bohong karena disengaja untuk tujuan tertentu atau untuk menampilkan image tertentu ke dunia luar. Fakta menjadi nomor dua, narasi lebih penting dari fakta. Yang penting viral.
Selain itu ada isu data privacy, penggunaan hak-hak pribadi tanpa ijin misalnya untuk keperluan marketing atau untuk tujuan lainnya yang merugikan kita. Kita punya hak untuk tidak dimata-matai. Dan kita bahkan bisa juga mengusulkan ada hak untuk menghapus jejak digital.
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam mengarungi dunia digital:
- Fear of missing out - ada semacam ketakutan untuk ketinggalan perkembangan di dunia.
- Pencitraan - kadang untuk menampilkan pencitraan yang baik, kebohongan menjadi hal yang biasa.
- Bullying - pesan berupa kekerasan verbal atau ancaman kekerasan fisik dan teror.
- Pemalsuan fakta - baik berupa pesan yang salah sampai ke teknologi deep fake yang mampu membuat kenyataan virtual. Penipuan online juga masuk ke dalam ranah ini.
Itulah hal-hal yang perlu kita perhatikan di dunia digital saat ini, baik untuk melindungi diri kita maupun sebagai patokan kita agar tidak melakukan hal-hal tersebut.
Karyn Amanda sebagai pembicara kedua menyajikan fakta terkait medsos di Indonesia. Pengguna Tik Tok di Indonesia adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat, dengan jumlah penggunanya di Indonesia sebanyak 99 juta pengguna. Tik Tok menjadi salah satu apps pendorong updatenya dunia mode di dunia. Cara berpakaian atau bertindak sering diawali dari Tik Tok. Karena begitu populer, ada banyak isu etika yang perlu diperhatikan oleh para pengguna Tik Tok seperti kabar bohong, mengejar FYP (for you page), menyebarkan isu sensitif dan privat serta berurusan dengan hukum karena content terkait. Ada juga kasus-kasus di mana terjadi penghakiman massal melalui Tik Tok terhadap pengguna Tik Tok yang lain. Budaya main hakim tersendiri ini kadang memang kena ke orang yang menyebarkan content bermasalah, namun kadang terkena kepada orang yang tidak bersalah. Jadi penghakiman netizen kadang merugikan.
Menambah follower dengan content yang sensasional juga kerap terjadi, bahkan sampai berurusan dengan aparat penegak hukum. Itu dibuat karena pengguna ingin mengejar agar postingannya trending dan viral. Sebagai pengguna medsos, kita harus memperhatikan hal-hal di atas.
Aquino Hayunta sebagai pembicara ketiga menguraikan tentang dunia digital dan kaitannya dengan demokrasi. Dunia internet adalah salah satu anak dari globalisasi. Globalisasi menghilangkan batasan-batasan tradisional yang dulu ada. Semua negara saling tergantung satu sama lain dalam rantai pasokan global, pekerjaan menjadi makin beragam dan lintas batas negara. Masalah lokal juga jadi lebih diperhatikan secara global. Negara-negara juga makin mempermudah warganya untuk lintas batas dan bepergian, dibantu dengan makin berkembangnya teknologi transportasi.
Di dunia yang terkoneksi ini, apalagi lewat dunia digital, segala informasi menjadi lebih deras mengalir dan bertukar. Ini menguntungkan namun sekaligus membingungkan. Ini kata kunci yang perlu diperhatikan di dalam menyikapi dunia digital yaitu paradoks. Segala dampak buruk dunia digital bukan berarti kita meninggalkan dunia digital atau membatasi media sosial, karena sebetulnya keuntungannya juga amat banyak. Sama seperti globalisasi membawa paradoks, hanya saja dampak di dunia digital terakselerasi dengan jauh lebih cepat lagi. Melalui internet kita bisa berkomunikasi antar tempat yang jauh, konektivitas menjadi lebih baik, pertukaran kebudayaan dan kesadaran sosial menjadi lebih baik. Dan yang penting adalah individu sebagai jantung demokrasi memiliki tempat yang lebih sentral dibanding masa sebelumnya.
Di dalam medsos, kebohongan menjadi sesuatu yang biasa, baik bohong karena salah memilih kata, bohong karena disengaja untuk tujuan tertentu atau untuk menampilkan image tertentu ke dunia luar. Fakta menjadi nomor dua, narasi lebih penting dari fakta. Yang penting viral.
Di sisi lain internet juga menjadi pemecah dunia. Lebih mudah mencari musuh di media sosial, lalu ada isu security, isu ketidakpercayaan terhadap pakar dan lebih percaya pada lingkar pertemanannya sendiri. Internet dapat digunakan orang untuk menyebarkan ide yang justru anti-demokrasi.
Ciri khas dari ketersalinghubungan ini adalah hilangnya kontrol, seakan semua ada di luar kendali dan kemauan kita.
Untuk merespon sisi negatif dari internet tersebut, diperlukan kemampuan untuk menavigasi dunia digital dengan lebih baik. Jadi bukan dengan membatasi, namun justru kemampuan menavigasi perlu dikembangkan.
Etika yang perlu dikembangkan dalam era digital adalah sebagai berikut:
- Menunda respon, menjadi lebih toleran.
- Menjadi lebih lamban, supaya data yang kita terima terkumpul menjadi pengetahuan dan kebijaksanaan.
- Kita harus mengontrol diri sendiri, bukan mau mengontrol orang lain.
- Bertukar pemahaman, bukan menyebarkan kesadaran, bukan mempertahankan prinsip.
- Mengarahkan mata ke tempat yang tepat, jeli terhadap strength dan opportunity.
- Keluar dari cangkang kita (echo chamber).
- Kembali ke ilmu pengetahuan bukan opini.
Demikian poin-poin yang disampaikan oleh para pembicara dalam diskusi tersebut.
Ditulis oleh Aquino Hayunta, alumni IAF Indonesia.